Kekhalifahan (Abbasiyah) Terpecah: Dinasti-dinasti Kecil di Barat dan Dinasti-dinasti Kecil di Timur
Munculnya dinasti-dinasti kecil
Lima tahun setelah berdirinya kekhalifahan abbasiah , abdal rahman muda, satu satunya keturunan dinasti umayyah yang luput dari pembantaian masal yang menandai naiknya rezim baru. tiba di sebuah tempat jauh di daratan cordova spanyol. Satu tahun kemudian ,yaitu tahun 756 dia mendirikan sebuah dinasti yang kelak menjadi dinasti yang besar ,ketika itu provinsi pertamanya yang akan mengungguli kemajuan imperium abbasiah masih sedang berkembang , begitu pula provinsi – provinsi lain yang segera menyusul.ini di semua disebabkan karena lemahnya para khalifah abbasiah.
Kemunduran Bani Abbas yang disebabkan oleh berbagai faktor mengakibatkan banyak
daerah memerdekakan diri. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Keluasan wilayah kekuasaan daulat Abbasiyah yang tidak diimbangi dengan upaya
komunikasi yang baik antara pusat dengan daerah.
2. Tingkat kepercayaan dialektis para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
3. Keprofesionalan angkatan bersenjata mengakibatkan tingkat ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
4. Kesulitan kondisi keuangan negara.
5. Perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang
Dinasti-dinasti kecil di Barat
A. Dinasti Idrisiah
Pada tahun 785 idris ibn abdullah, cicit al hasan, ikut serta dalam salah satu pembrontakan terhadap abbasiah di hijaz. Perlawanan tersebut bisa di redam dan dia menyelamatkan diri ke maroko (al maqrib)[1]. Disanalah dia berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang mengabadikan namanya selama hampir dua abad (788- 974). Yaitu dinasti idrisiah.
Idrisiah yang menjadikan fez sebagai ibukota utamanya ,diatas reruntuhan kota romawi kuno, volabulis. Kota baru itu berkembang dengan pesat , padat penduduknya dengan berbondong bondongnya para emigran muslim baik dari afrika maupun dari andalusia ke pusat pemerintahan idrisiah tersebut. fez menjadi pusat kaum syorfa atau syurafa (bentuk jamak dari syarif . orang mulia) yakni para keturunan cucu Nabi saw, hasan dan husein ibnu ali bin abi thalib , yang menjadi faktor penting dalam sejarah perkembangan maroko.[2]adalah dinasti syiah pertama dalam sejarah. Mereka menghimpun kekuatannya dari kalangan berber, yang meskipun termasuk kaum sunni, mereka siap mendukung perpecahan. karena terkepung diantara fatimiah mesir dan umaayyah spanyol, dinasti mereka akhirnya hancur oleh serangan mematikan yang di lancarkan seorang jendral utusan khlifah al hakam 11 (961- 976) dari kardova.[3]
Sebelum dikuasai dinasti idrisiah wilayah tersebut didominasi oleh kaum khawarij. Kekuasaaan idrisiah yang ada di kota-kota tanpa menguasai desa –desa, akhirnya terpecah-pecah di masa pemimpin mereka, muhammad almuntasir (213 -221 / 828 – 836 ) kekuasaan mereka di bagi bagikan kepada saudara-saudara al muntasir yang banyak jumlahnya, sehingga memudahkan musuh mereka dalam menaklukkannya.
B. Dinasti Aghlabiah
Ketika idrisiah meluaskan daerah kekuasaannya di bagian barat afrika utara , aghlabiah sunni juga melakukan hal yang sama di timur. Diluar wilayah yang dinamakan ifriqiah (afrika kecil terutama tunisi), sempalan dari Afrika Latin, Harun Al Rasyid telah mengangkat Ibrahim Al Aghlab sebagai Gubernur.[4] Ibn Al Aghlab( 800-811) memerintah sebagai penguasa yang berdiri sendiri, dan setahun setelah pengangkatannya, tak satu pun khalifah Abbasiyah yang menjalankan kekuasaan di luar perbatasan barat Mesir. Aghlabiyah merasa puas dengan gelar amir, tetapi tidak merasa perlu mencantumkan gelar khalifah di mata uang mereka, sekalipun sebagai bukti kekuasaan spiritualnya. Dari ibukotanya Kairawan, sampai ke kartago, mereka menguasai mediterania tengah selama berabad-abad kejayaan mereka.( lihat philip k hitti hal 571)
Banyak penerus Ibrahim yang terbukti sama bersemangatnya dengan Ibrahim sendiri. Dinasti itu menjadi salah satu titik penting dalam sejarah konflik berkepanjangan antara Asia dan Eropa. Dengan armadannya yang lengkap, mereka memporak- porandakan kawasan pesisir Italia, Perancis, Kosika dan Sardinia. Salah satu dari mereka, Ziyadat Allah I ( 817-838), pada 827 mengirim ekspedisi ke Sisilia Bizantiyum, yang didahului oleh operasi bajak laut. Ekspedisi ini, juga ekspedisi-ekspedisi berikutnya berhasil menaklukkan pulau itu pada 902[5]. Sisilia, Malta dan Sardinia juga berhasil direbut, terutama oleh para bajak laut yang operasinya meluas jauh sampai ke Roma. Pada saat yang sama, para pelaut muslim dari Kreta terus-menerus menyerbu pulau-pulau kecil di laut Aegea, dan pada pertengahan abad pertengahan abad kesepuluh, mereka menyerang kawasan pesisir Yunani. Tiga prasasti Kufik yang ditemukan di Atena mengungkapkan adanya pemukiman Arab di sana, yang diduga bertahan sampai awal abad kesepuluh.[6]
Mesjid besar Kairawan, yang masih berdiri sebagai saingan bagi masjid-masjid termasyhur di Timur, mulai dibangun di bawah kekuasaan Ziyadat Allah dan di sempurnakan oleh Ibrahim II (874-902). Tempat berdirinya mesjid itu juga merupakan lokasi berdirinya bangunan suci ‘Uqbah, pendiri Kairawan. Mesjid ‘Uqbah oleh para penerusnya telah dihiasi dengan pilar-pilar marmer yang didapat dari puing-puing Kartago, yang kemudian dimanfaatkan lagi oleh penguasa Aghlabiyah. Menara-persegi yang melengkapi bangunan masjid ini, yang juga merupakan peninggaln bangsa Umayyah terdahulu, dan termasuk yang paling lama bertahan di Afrika, memperkenalkan bentuk menara ala Suriah kepada masyarakat Afrika barat-laut. Model menara itu bahkan tidak pernah tergantikan oleh bentuk-bentuk lain yang lebih ramping dan tinggi seperti yang ada dalam peninggalan Persia dan bangunan ala mesir. Dalam gaya Suriah, bata digunakan sebagaimana gaya-gaya bangunan lain yang menggunakan batu. Berkat mesjid ini, Kairawan, di mata kalangan muslim barat, menjadi kota suci keempat, setelah Mekkah, Madinah dan Yerusalem-salah satu dari empat gerbang surga.
Di bawah kekuasaan Aghlabiyah inilah terjadinya perubahan penting di tengah kaawsan Afrika kecil. Dari kawasan yang tadinya dihuni oleh para penganut kristen yang berbicara bahasa Latin menjadi kawasan para penganut Islam yang berbicara dengan bahasa Arab. Bagaikan rumah judi, Afrika Latin Utara-yang menopang St. Agustinus dengan lingkungan budayanya-telah runtuh dan tidak pernah bangkit lagi. Perubahan ini mungkin lebih sempurna dibandingkan perubahan yang terjadi di kawasan manapun, karena kawsan ini tiak terlalu disentuh oleh tentara muslim. Pertikaian yang belakangan muncul dipicu oleh sku-suku Berber yang belum menyerah. Pertikaian ini berbentuk sektarianisme muslim yang terpecah-belah dan sarat dengan bid’ah.
Penguasa Aghlabiyah terakhir adalah Ziyadat Allah III (903-909),[7]yang pada 909 melarikan diri dari serangn Fatimiyah tanpa memberikan perlawanan sedikit pun.
C. Dinasti Thulun
Pendiri Dinasti Thulun yang berumur pendek (868-905) di Mesir dan Suriah adalah Ahmad bin Thulun. Ayahnya seorang Turki dari Farghanah, Pada 817 dipersembahkan oleh penguasa Samaniah di Bukhara sebagai hadiah untuk Al Ma’mun.[8] Pada 868 Ahmad berangkat ke Mesir sebagai pimpinan tentara untuk Gubernur Mesir. Di sini ia segera berusaha mendapatkan kemerdekaan dirinya . ketika menghadapi tekanan keuangan karena adanya pwmberontakan wangsa Zanj, Khalifah Al Mu’tamid meminta bantuan finansial kepada komandan pasukannya yang orang Mesir itu, tetapi permintaan itu tidak dipenuhi. Peristiwa ini menjadi titik balik yang mengubah sejarah kehidupan Mesir selanjutnya.
Kerajaan Tuluni mewakili kerajaan pertama Mesir di Syiah yang memperoleh anatomi dari Baghdat. Ahmad bin Tulun, seorang prajurit Turki. Oleh karena itu, Ahmad bin Tulun, di besarkan dalam lingkungan tentara yang tegas dan disiplin. Pada tahun 254 H/868 M, Ibn Tulun dihantar ke Mesir sebagai wakil pemerintahan. Semasa Baghdad mengalami krisis, Ibn Tulun memanfaatkan situasi ini dan kemudian melepaskan Baghdad.
Dalam membangun negeri, beliau menciptakan stabilitas keamanan dalam negeri. Selepas itu ia memperhatikan juga, di bidang ekonomi. Dalam bidang keamanan, ia membangun angkatan perang, dengan kekuatan tentaranya, memperluas wilayahnya hingga ke Syam. Selepas Ibn Tulun (279 H/884 M), kepemimpinan diteruskan oleh Khumarawaih (270 H/884 M), Jaisy (282 H /896 M), Harun (283 H/896 M) dan Syaiban (292 H/905 M).
D. Dinasti Iksidiyah
Tidak lama setelah tuntasnya pemberontakan pada penguasa Abbasiyah di Mesir dan Suriah, muncul lagi Dinasti Turki yang masih keturunan Farghanah[9], yakni Iksidiyah yang didirikan di Fusthat. Pendiri dinasti ini bernama Muhammad Ibn Thughj(935-946) yang setelah memberskan kekacauan di mesir[10] mendapatkan anugerah gelar kebangsaan ala Iran, Ikhsyid, dari Khalifah Ar Radi pada 939. Dua tahun selanjutnya, Dinasti Ikhsidiyah mengikuti jejak Thulun sebelumnya.
Strategi yang pertama ikhsidi adalah mengkokohkan angkatan perang. Beliau diberi tanggung jawab mentadbir wilayah Syam. Ikhsidi meninggal dunia pada tahun 936 M. Pemerintahannya di tumbangkan oleh Jauhar Siqli dari kerajaan Fatimiah. Pada tahun 358 H/969 M, kerajaan Ikhsidi berakhir.
Sejarah sumbangan kerajaan ini , ilmu pengetahuan dan budaya, lahirlah ilmuan seperti abu Ishaq al-Mawazi, Hasan ibn Rasyid al-Mishrivdll. Ikhsidi juga mewariskan bangunan megah seperti Istana al-Mukhtar di Raudah dan Taman Bustan al-Kafuri dll.
E. Dinasti Hamdaniyah
Dinasti ini didirikan pada 293 H/905 M oleh Hamdan ibn Hamdan, dari kabilah Taghlib. Dalam konteks ini, Watt mencatat bahwa para penguasa Hamdaniyah dianggap bersimpati pada ideologi Syi’ah, tetapi Syi’ah moderat. Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya pe¬ngaruh ideologi itu pada kebijakan-kebjakan yang dikeluarkan dinasti ini. Se¬benarnya, kelompok ini telah melakukan gerakan jauh sebelum berdirinya di¬nas¬ti ini. Pada masa pemerintahan khalifah al-Mu’tamid, misalya, kelompok ini me¬lakukan gerakan makar, tapi gagal. Sejak saat itu, mereka terus melakukan ge¬rakan guna memperoleh kekuasaan di pemerintahan. Usaha mereka baru berhasil ketika kekuasaan jatuh ketangan khalifah al-Muqtadir. Pada masa al-Mqtadir, keluarga ini memperoleh jabatan penting di istana. Tiga orang bersaudara dari keluarga ini diangkat menjadi wali (gubernur), seperti Abd Allah ibn Hamdan menjadi wali di Mosul, Said ibn Hamdan untuk Nahawad, dan Ibrahim ibn Hamdan untuk daerah-daerah suku Rabi’ah. Dalam perkembangan selanjutnya, di antara keturunan Abd Allah ibn Hamdan yang paing menonjol adalah Abu Muhamad ibn Abd Allah dengan ge¬lar Nashir al-Daulah, sebagai wali Mosul, dan saudaranya Abu al-Husein Ali ibn Abd Allah, bergelar Sayf al-Daulah, sebagai wali Halb atau Aleppo.
Di bawah kekuasaan kedua orang generasi Hamdan ini, dinasti Hamdaniyah mengalami perkemangan yang sangat sifnifikan. Sayf al-Daulah berambisi untuk mem¬per¬luas wilayah kekuasaan dan mempertahankan daerah tersebut dari serangan bangsa Romawi. Bahkan untuk hal tersebut, ia memaksa penguasa Ikhsyidiyah agar menyerahkan sebagian wilayah Syria Utara kepadanya supaya lebih mem¬permudah melakukan pengawasan dan serangan balik bila bangsa Romawi me¬lakukan serangan ke Aleppo (Halb). Lebih dari itu, penguasa Ikhsyidiyah rela membayar pajak tahunan kepada Sayf al-Daulah dengan catatan tidak mengganggu Damaskus. Sementara itu, wali Mosul terus melakukan gerakan per¬lu¬asan wilayah, bahkan semat menguasai kota Bagdad selama lebih kurang satu tahun setelah berhasil mendesak dan mengusir Bani Buwaih. Tapi setelah ke¬kuatan Bani Buwaihi kembali pulih, mereka diusir dan kembali lagi ke Mosul. Kekuatan dinasti Hamdaniyah mulai meredup setelah kedua penguasa terkuat wafat. Nashir al-Daulah wafat pada 356 H, sementara Sayf al-Daulah wa¬fat pada 358 H. Sinar kekuatan dinasti Hamdaniyah ini mulai meredup bahkan menghilang setelah kedua tokoh terkenal tersebut wafat. Hal itu terjadi karena para penguasa sesudahnya selalu konflik berebut kekuasaan, sehingga mele¬mah¬kan struktur pemerintahan dan sendi-sendi kekuatan politik militer. Dinasti ini mengalami kehancuran ketika kekuasaannya jatuh ke tangan pemerintahan dinasti Fathiiyah pada 394 H/1004 M. Meskipun tidak lama, kekuasaan dinasti Hamdaniyah mememiliki pe-ninggalan peradaban yang cukup baik, karera para penguasanya, khususnya Sayf al-Daulah merupakan penguasa yang mencintai kesusastraan, bahkan ia merupakan pelindung sastra Arab. Di antara tokoh sastra terkenal yang hidup pada masa itu adalah al-Mutanabbi. Selain itu, pada masa ini juga lahir ilmuan terkenal, seperti al-Farabi, al-Isfahani dan Abu al-Fairus. Satu hal yang perlu dicatat di sini adalah bahwa dinasti Hamdaniyah merupakan salah satu dinasti yang mampu menjadi benteng pertahanan umat Islam dari serangan bangsa Romawi, sehingga keutuhan wilayah kekuasaan Islam tetap terjaga, meskipun secara internal terjadi konflik politik tak berkesudahan di antara umat Islam.
Dinasti – dinasti di Timur
A. Dinasti Tahiriyah (200 H-259 H / 820 M-872 M)
saat dinasti-dinasti kecil – sebagian besar dari arab- memecah wilayah kekuasaan di barat , proses yang sama juga tengah terjadi di timur , terutama di lakukan oleh orang turki dan persia.[11]
Dinasti yang pertama mendirikan sebuah negara semi indepeden disebelah timur Baghdad adalah orang yang pernah dipercaya oleh Al-Ma’mun untuk menduduki jabatan jendral, yakni Thahir bin Al-Husayn dari Khurassan, yang secara gemilang berhasil memimpin balatentara untuk melawan Al-Amin. Dalam perang ini , tahir si mata satu itu di ceritakan sangat lihai menggunakan pedang dengan kedua tangannya , sehingga alma mun menjulukinya zul alyaminain (bertangan kanan dua )[12]
Thahir adalah keturunan budak Persia, pada tahun 820 M diangkat oleh Al-Mamun sebagai gubernur atas semua kawasan di sebelah Timur Baghdad dengan pusat kekuasaannya di Khurassan. Meski secara formal para penerus Thohir adalah pengikut khalifah, mereka memperluas wilayah kekuasaannya hingga perbatasan India. Mereka memindahkan pusat pemerintahan ke Naisabur, dan disitu mereka berkuasa sampai tahun 872 H[13], sebelum akhirnya digantikan oleh Dinasti Saffarriyah.
B. Dinasti Saffariyah (254 H-289 H / 867 M-903 M)
Dinasti Saffariyah, yang bermula di Sijistan dan berkuasa di Persia, didirikan oleh Yakub bin al Laits al shaffar. Al saffar menjadikan pengrajin tembaga sebagai pekerjaannya dan merampok sebagai kegemarannya. Perilakunya yang sopan dan efesien sebagai seorang kepala gerombolan perampok telah menarik perhatian gubernur sijistan, yang kelak memeberinya kepercayaan untuk memimpin balatentaranya. Al Saffar akhirnya menggantikan gubernur itu dan berhasil memperluas wilayah kekuasaan hampir ke seluruh Persia dan kawasan pinggiran India, bahkan mengancam kekuasaan Baghdad yang berada di bawah pimpinan Khalifah al-Mu’tamid.[14]
C. Dinasti Samaniyah (261 H-389 H / 874 M-999 M)
Keluarga Samaniyah dari Transoxiana dan Persia adalah orang-orang keturunan saman, yaitu seorang bangsawan dari Balkh. Pendiri dinasti ini adalah Nashr bin Ahmad, cucu dari saman, tetapi figur yang menegakkan kekuasaan dinasti ini adalah saudara Nashr, yaitu Ismail yang pada tahun 900 H, berhasil merebut Khurassan dari genggaman dinasti Saffarriyah[15]. Ketika berada dibawah kepemimpinan Nashr II ( Ibn Ahmad ) yang berada di garis keturunan ke 4 Sammaniyah yang pada awalnya merupakan kelompok para gubernur muslim dibawah kekuasaan Dinasti Tahirriyah, berhasil memperluas kerajaan hingga Sijistan, Karman, Jurjan, Rayyi, dan Tabaristan. Dimata Baghdad, Sanawiyah adalah para amlr (gubernur) atau bahkan amil, tetapi di mata rakyat, kekuasaan mereka tak terbantahkan. Pada masa ini pula, ilmuanwan muslim yang termansyur, al-razi mempersembahkan karya utamanya dalam dunia kedokteran, berjudul al-Mansyur. Pada masa ini pula, pada periode Nuh II yang mengajukan pengembangan ilmu pengetahuan, Ibn Sina muda tinggal di Bukhara dan memperoleh mengakses buku-buku. Disanalah ia memperoleh lmu-ilmu yang tak ada habisnya. Sejak masa media ekspresi sastera, dan berkat para penulis itulah sastra muslim Persia yang cenderung mulai berkembang[16].
Kendati merupakan dinasti yang paling cerah, Samaniyah tidak terlepas dari kekurangan yang terbukti telah menghancurkan dinasti-dinasti lain pada priode yang sama, selain persoalann beasa yang muncul dari pergolakan aristokrasi militer dan situasi sulit menyangkut suksesi pemerintahan , muncul juga ancaman baru , yakni pengembara dari turki yang bergerak menuju utara. Bahkan di dalam negara sendiri kekuasaan berangsu –angsur di ambil oleh budak budak turki , yang justru merupakan golongan yang sereng di adili oleh penguasa samaniah [17].
Salah satu wilayah samaniah , sebelah selatan oxus, perlahan di caplok oleh dinasti gaznawi, yang berkuasa di bawah pimpinan salah satu budak turki. Wilayah sebelah utara sungai di rampas oleh ilek (ilaq) khan dari turkistan. Yang pada 992 merebut bukhara dan tujuh tahun kemudian melakukan caoup de grace terhadap dinasti samaniah yang riwayatnya sudah berakhir.pertikaian antara orang iran dan turki yang memperebutkan hak atas wilayah perbatasan islam pada abad keempat hijriah merupakan prolog bagi situasi yang lebih gawat. Setelah ini kita akan melihat orang2 turki memainkan perannya yang semakin penting dalam urusan dunia sampai mereka akhirnya menyerap sebagian besar kekuasaan khalifah bagdad dan kemudian mendirikan kekhalifahan sendri yaitu dinasti usmani.
D. Dinasti Ghazwani
Salah satu wilayanh samaniyah, sebelah selatan oxus, perlahan-lahan di caplok oleh Dinasti Ghaznawi, yang berkuasa di bawah pimpinan salah satu budak Turki. Kebangkitan Dinasti Ghaznawi mempresentasikan kemenangan pertama Turki dalam persaingan dengan Iran untuk mencapai kekuasaan dalam islam. Meski dengan demikian, kekuasaan Ghanawi sama sekalli tidak berbeda dengan kekuasaan Samaniyyah atau Saffariyah[18].
Ghazawi tidak ditopang dengan angkatan bersenjata, maka semuanya segara menemui kehancuran. wilayah-wilayah kekuasaan disebelah timur berangsur-angsur memisahkan diri dan muncullah dinasti-dinasti muslim independen[19], di utara dan barat seperti Dinasti Khan dari Thurkistan dan Saljuk dari Persia. Keduanya memisahkan diri dari kekuasaan gaznawi , di bagian tengah , dinasti ghuriah yang tangguh dar afganistan membrontah dan pada 1186 berhasil mengahncurkan pijakan gaznawi yang terakhir di lahore.
[1] Al ya’qubi jilid ii hal 488
[2] Bosworth dinasti dinasti op cit hal 42
[3] Ibn abi zar hal 56-57
[4] Ibn Abi Zar, hal. 56-57
[5] Ibn al Atsir, jilid iv, hal. 106; Ibn ‘Idzari , jilid i, hal. 83.
[6] D. G. Kampouroglous, The Sarachens in Athens, Social Science Abstracts, jilid ii (
[7] Tentang para penguasa Aglabiyah lainnya, lihat Lane-Pole, hal. 37; Zambaur, hal. 67, 68.
[8] Ibn Khaldun, jilid iii, hal. 295
[9] Ibn Said, al Mughrib fi hula al Maghrib, ed. K. L. Tallqvist (Leiden, 18999), hal. 5
[10] Al Kindi, hal. 288; Misykawayh, jilid I, hal. 322, 366
[11] Philip k hitti hal 585
[12] . ibn khallikan , jilid 1 hal 422 : ibn atsir jilid vi, hal 270
[13] . al-mas udi jillid iii, hal hal 42
[14] Philip k hitti hal 586
[15] . ibn atsir , jilid iii hal 41-45
[16] . Philip k hitti hal 587
[17] . dinasti-dinasti timur Philip k hitti hal 588
[18] Philip k hitti hal 588
[19] .syalabi mausu ah hal 422
Categories:
Sejarah
Maaf boleh tanya ini real gak?
Kalo boleh tanya sumbernya ?