Bijeh Pade

oleh : rel nas 
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang masalah
            Dakwah Islam adalah dakwah universal. Nabi Muhammad saw. diutus oleh Allah SWT untuk seluruh umat manusia. Karenanya, para Sahabat, tabi’in, tabi’ at-tabi’in serta generasi sesudahnya yang dengan tulus konsisten mengikuti aktivitas dakwah mereka, senantiasa melakukan futûhat (perluasan dakwah) dalam rangka meninggikan agama Allah; mengeluarkan manusia dari kezaliman sistem, rezim dan agama thaghut menuju keadilan Islam; dan dari sempitnya dunia menuju keluasan iman; serta dari kegelisahan jiwa menuju ketenangan dan ketenteraman hati dengan menjalankan syariah Allah SWT.Akan tetapi, untuk mewujudkan keadilan di tengah-tengah manusia, syariah Islam harus mencakup seluruh aspek kehidupan serta menjawab setiap persoalan yang muncul sepanjang zaman. Apalagi Allah SWT telah berfirman:
وَنَزَّلنا عَلَيكَ الكِتٰبَ تِبيٰنًا لِكُلِّ شَيءٍ
Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu (QS an-Nahl [16]: 89).
Namun, hal ini tidak berarti bahwa al-Quran dan as-Sunnah menjawab secara tekstual semua kejadian dan setiap fakta yang terjadi setiap saat. Asy-Syathibi berkata, “Syariah tidak menetapkan hukum secara rinci hingga bagian yang terkecil. Namun, syariah datang membawa perkara dan pernyataan yang sifatnya umum yang mencakup berbagai persoalan yang tidak terbatas.”.[1]
Jadi, di sinilah keberadaan ijtihad sangat penting bagi umat ini, bahkan merupakan kewajiban syariah itu sendiri. Sebab, hanya dengan ijtihad ini syariah Islam akan mampu menjawab setiap persoalan yang terjadi kapan pun dan dimana pun. Ijtihad adalah fardhu kifâyah dan setiap muslim berhak melakukan ijtihad apabila telah memenuhi syarat-syaratnya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 41).
B.     Rumusan masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan fatwa dan ijtihad?
2.      Bagaimana hukum ijtihad
3.      Apa syarat-syarat ijtihad dan mufti?
C.    Tujuan pembahasan
1.      Untuk memahami makna fatwa dan ijtihad
2.      Untuk mengetahui hukum ijtihad
3.      Untuk mengetahui syarat-syarat ijtihad

                        BAB II
                 PEMBAHASAN
A.    Definisi Ijtihad dan fatwa
Dalam Mu’jam Ushûl al-Fiqh (Hasan: 1998, 21) disebutkan bahwa kata al-ijtihâd (ijtihad) berasal dari kata al-juhd, yakni al-masyaqqah (kepayahan) dan ath-thâqah (kekuatan). Oleh karena itu, ijtihad menurut pengertian bahasa adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk mewujudkan perkara yang berat dan sulit.[2]
Adapun menurut pengertian istilah, ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syariah yang bersifat praktis dengan cara istinbâth (penggalian hukum)[3]. Dalam Taysîr al-Wushûl (Abu Rustah: 2000, 257), ijtihad menurut istilah ahli ushul fikih adalah mengerahkan segenap kemampuan dalam rangka mencari dugaan kuat terhadap hukum syariah sehingga seorang mujtahid merasa tidak mampu lagi untuk berbuat lebih dari yang telah diusahakannya.
Dengan demikian, berdasarkan definisi di atas, ijtihad dapat dikatakan sebagai ijtihad yang syar’i jika telah memenuhi tiga hal: Pertama, mengerahkan segenap kemampuan sehingga seorang mujtahid merasa tidak mampu lagi untuk berbuat lebih dari yang telah diusahakannya. Kedua, usaha keras itu dilakukan dalam rangka mencari dugaan kuat terhadap hukum syariah. Ketiga, dugaan kuat itu harus berasal dari nash syariah.[4] Artinya, seseorang tidak diangap sebagai mujtahid, yakni orang melakukan ijtihad, jika dalam mencari dugaan kuat (ghalabah azh-zhann) itu tidak mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatannya, tidak untuk mencari hukum syariah dan tidak di-istinbâth-kan (digali) dari nash (dalil) syariah, yakni tidak dari al-Quran dan as-Sunnah.
(fatwa; jamak: fatawa = petuah, nasihat, jawaban pertanyaan hukum). Pendapat mengenai suatu hukum dalam Islam yang merupakan tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa dan tidak mempunyai daya ikat. Dengan kata lain, si peminta fatwa, baik perorangan, lembaga maupun masyarakat luas tidak harus mengikuti isi atau hukum dari fatwa yang diberikan kepadanya. Hal ini disebabkan fatwa seorang mufti atau ulama di suatu tempat bisa saja berbeda dari fatwa ulama lain di tempat yang sama. Fatwa biasanya cenderung dinamis karena merupakan tanggapan terhadap perkem­bangan baru yang sedang dihadapi masyarakat pe­minta fatwa. Isi fatwa itu sendiri belum tentu dina­mis, tetapi minimal fatwa itu responsif.[5]
Tindakan memberi fatwa disebut futya atau ifta, suatu istilah yang juga merujuk pada profesi mem­beri nasihat. Orang yang memberi fatwa disebut mufti atau ulama, sedangkan yang meminta fatwa disebut mustafti. Peminta fatwa bisa berupa per­orangan, lembaga ataupun siapa saja yang membutuhkannya.
Pada dasarnya futya adalah profesi independen, namun di banyak negara muslim menjadi terkait dengan otoritas kenegaraan dalam berbagai cara. Dalam sejarah Islam, dari abad pertama sampai dengan ketujuh Hijriah, negaralah yang mengangkat ulama yang bermutu sebagai mufti. Namun pada masamasa selanjutnya, pospos resmi dari futya diciptakan, sehingga mufti menjadi jabatan kenegaraan yang hierarkis, namun tetap dalam fungsi keagamaan. Pada tempat dan periode tertentu, seperti pada masa Kerajaan Ottoman, fungsi mufti dikombinasikan dengan hakim dan pemegang jabatan ini seringkali dilarang memberikan fatwa sehubungan dengan tindakan hukum yang terjadi di pengadilan.
Fungsi kenegaraan yang dibebankan futya tidak menghilangkan pelaksanaan profesi itu secara pribadi. Akan tetapi dengan penerapan kitab-kitab undang-undang tertentu dengan segala perlengkapannya yang diambil dari sistem perundangundangan Eropa, maka protesi futya di banyak negara Islam hampir tidak terpakai lagi.[6]
B.     Hukum Ijtihad
Syariah Islam menjadikan ijtihad dalam rangka menggali (istinbâth) hukum syariah dari khithâb asy-Syâri’ (seruan pembuat hukum)–yakni dari nash-nash yang diwahyukan kepada Rasulullah saw., yaitu al-Quran dan as-Sunnah–adalah wajib atas kaum Muslim (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 41).Ada dua aspek yang menjadikan ijtihad itu sebagai sebuah kewajiban atas kaum Muslim. Pertama: aspek ‘aqliyah; akal mengharuskan adanya ijtihad. Sebab, nash-nash itu bersifat terbatas dan berakhir. Padahal berbagai peristiwa dan kejadian baru terus bermunculan. Di sisi lain, umat Islam wajib menjalani hidup ini sesuai dengan aturan dan ketentuan agama (hukum syariah). Jadi, harus ada ijtihad untuk mengetahui hukum syariah atas setiap kejadian dan peristiwa yang baru. Dengan demikian, ijtihad sangat diperlukan sepanjang zaman selama  Kehidupan masih ada. Jika tidak, maka berapa banyak peristiwa dan kejadian yang tidak iketahui hukumnya; agama pun akan kehilangan perannya, dan hukum syariah disia-Siakan.[7]
Mengingat tidak mungkin mengetahui hukum syariah atas setiap peristiwa yang terjadi tanpa ijtihad, maka ijtihad menjadi wajib. Kaidah syariah mengatakan:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Sesuatu yang karenanya kewajiban menjadi sempurna, maka (adanya) sesuatu itu menjadi wajib (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 42).
`Kedua: aspek syar’iyyah; syariah mewajibkan ijtihad. Banyak dalil yang menetapkan bahwa ijtihad itu wajib. Di antaranya adalah sabda Rasulullah saw.:
«إذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ»

Jika hakim membuat keputusan dengan ijtihad, lalu ia benar dengan ijtihadnya, maka ia mendapatkan dua pahala. Sebaliknya, hakim yang membuat keputusan dengan ijtihad, lalu ia salah dengan ijtihadnya, maka ia mendapatkan satu pahala (HR al-Bukhari dan Muslim dari Amr bin Ash).
Hadis ini menunjukkan bahwa bagi seorang mujtahid, melakukan ijtihad merupakan Keharusan setiap ada peristiwa yang terjadi, khususnya peristiwa-peristiwa baru. Dengan demikian, hadis ini secara implisit memerintahkan agar seorang mujtahid senantiasa melakukan ijtihad dalam rangka menggali hukum syariah Rasulullah saw. juga pernah bersabda kepada Ibnu Mas’ud yang memerintahkannya agar berijtihad:
«اقْضِ بِـالْكتَابِ وَالسُّنَةِ إِذَا وَجَدْتَهُمَا، فَـإِذَا لَـْم تـَجِدِ الـحُكْمَ فِـيْهِمَا اجْتَهِدْ رَأْيَكَ»
Putuskanlah berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah jika kamu mendapatkan pada keduanya. Jika kamu tidak mendapatkan hukum pada keduanya, maka berijtihadlah dengan pendapatmu.[8]
Berdasarkan hal ini, para ulama ushul fikih telah menetapkan bahwa ijtihad fardhu kifâyah atas kaum Muslim. Karena itu, tidak boleh ada satu masa pun yang di dalamnya tidak ada seorang mujtahid. Apabila masing-masing sepakat meninggalkan ijtihad, maka semuanya berdosa. Sebab, jalan untuk mengetahui hukum syariah tidak lain adalah ijtihad. Apalagi jikadalam suatu masa tidak ada seorang mujtahid yang akan menjadi sandaran dalam mengetahui hukum syariah, yang hal itu akan menyebabkan terabaikannya hukum syariah; tentu hal yang seperti ini boleh terjadi.
C.    Syarat-syarat Ijtihad dan fatwa
Ijtihad bukan sesuatu yang sangat sulit hingga mustahil dilakukan. Sebab, ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan dalam rangka mencari dugaan kuat terhadap hukum syariah. Bagi orang yang telah mampu dan telah memenuhi syarat-syarat ijtihad, melakukan ijtihad ini bukan perkara yang mustahil.[9]Adapun terkait dengan syarat-syarat ijtihad, ulama berbeda dalam menetapkannya.
Dalam Mu’jam Ushûl al-Fiqh ditetapkan tujuh syarat. Dalam Atsar al-Lughah fi Ikhtilâf al-Mujtahidîn ditetapkan sembilan syarat. Namun, dari semua itu ada dua syarat mendasar yang harus terpenuhi dalam berijtihad.
Pertama: mengerti dalil-dalil as-sam’iyah (al-Quran dan as-Sunnah) yang darinya digali kaidah dan hukum syariah.
Kedua: mengerti dilâlah (maksud dan makna) kata yang biasa dipakai dalam bahasa Arab serta penggunaannya yang benar dan fasih.[10] menambahkan satu syarat lagi, yaitu mengerti hakikat fakta yang hendak dihukumi, yang disebut dengan manâth al-hukm (obyek hukum). Sekalipun demikian, dalam hal manâth al-hukm ini, ia tidak harus mengetahui sendiri; ia bisa saja bertanya kepada orang lain (Muslim atau non-Muslim) yang ahli tentang fakta (manâth al-hukm)ini.
Terkait dengan al-Quran, Imam al-Ghazali tidak mensyaratkan harus menguasai seluruh al-Quran, namun cukup yang berkaitan dengan hukum saja, yaitu sekitar lima ratus ayat; tidak harus hafal di luar kepala, namun cukup mengetahui tempatnya saja sehingga mudah menemukan ketika membutuhkannya. Begitu juga dengan as-Sunnah, cukup menguasai hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum; tidak harus hafal diluar kepala, namun cukup memiliki kitab shahih, seperti Sunan Abu Dawud dan lainnya, serta mengetahui masing-masing babnya hingga mudah ketika membutuhkannya. Akan tetapi, jika mampu menghapalnya di luar kepala, itu lebih baik dan lebih sempurna.[11]
SYARAT-SYARAT IJTIHAD.
Seseorang yang ingin mendudukkan dirinya sebagai mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan. Di antara sekian persyaratan itu yang terpenting ialah:
1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan pengertian ia mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk
menggali hukum.
2. Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia sanggup untuk membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali
hukum.
3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma' agar ia tidak berijtihad yang hasilnya bertentangan dengan ijma'.
4. Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan dapat mempergunakannya untuk menggali hukum.
5. Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam bahasa Arab yang sangat tinggi gaya bahasanya dan cukup unik dan ini merupakan kemu'jizatan al-Qur'an.
6. Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam al-Qur'an dan Hadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi yang telah dinasakh
(mansukh) untuk menggali hukum.
7. Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab-u'l-nuzul) dan latar belakang suatu Hadits (asbab-u 'l-wurud) agar ia mampu melakukan istinbath hukum secara tepat.
8. Mengetahui sejarah para periwayat hadits, supaya ia dapat menilai sesuatu Hadist, apakah Hadits itu dapat diterima ataukah tidak. Sebab untuk menentukan derajad/nilai suatu Hadits sangat tergantung dengan ihwal perawi yang lazim disebut dengan istilah sanad Hadits. Tanpa mengetahui sejarah perawi Hadits, tidak mungkin kita akan melakukan ta'dil tajrih  screening).
9. Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat menghasilkan deduksi yang benar dalam menyatakan suatu pertimbangan hukum dan sanggup mempertahankannya.
10. Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agardengan kaidah-kaidah ini ia mampu mengolah dan menganalisa dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu.[12]

SIFAT-SIFAT IDEAL BAGI MUFTI
      Imam ahmad mengharapkan seorang mufti seyogianya bersifar sebagai berikut :
a.       Kuat niatnya. Diharapkan bagi seorang mufti dalam memberikan fatwa hanya semata-mata karena Allah. Seorang mufti yang memberikan fatwa lantaran mengharapkan imbalan harta, kemulian dan jabatan dari penguasa hanya keduniaan itulah yang di peroleh.
b.      Berpengeathuan, sabar, penuh hormat dan tenang. Pengetahuan merupakan modal yang sangat penting bagi seorang mufti. Tanpa pengetahuan terhadap apa yang di fatwakan akan menyesatkan orang yang diberi fatwa dan bahkan menyesatkan diri sendiri. Karena yang di fatwakan itu hukum-hukum Allah padahal kenyataannya ia tidak berpengetahuan dalam hal  itu, maka tindakannya itu tidak lain hanyalah penipuan belaka. Menipu hukum Allah berarrti menipu Allah. Apabila pengetahuan itu memperkenalkan seseorang akan kepintarannya, maka kesabaran, dan ketabahan serta menahan diri dari nafsu itu menjadi pemantap kepandaiannya. Sedang penuh hormat dan ketenangan itu adalah buah dari  kesabarannya.
c.       Kuat terhadap yang di kuasainya dan terhadap yang ketahuinya. Seorang mufti hendaknya orang yang mendalam ilmunya, sebab jika picik pengetauannya , maka fatwanya akan membuat mundur dari kebenaran dalam bidang yang harus seharusnya di majukan  dan telalu maju dalam hal-hal yang seharusnya mundur.
d.      Cukup ekonominya . penghidupan tidak tergantung pada orang lain dan tidak selalu mengharapkan uluran tangan seseorang. Kecukupan ini sangat membantu mereka dalam menghidupkan ilmunya. Seorang mufti yang selalu mengahrapkan bantuan orang lain akan selalu di hina dan dicerca oleh orang banyak.
e.       Mengenal masyrakat. Seorang mufti yang acuh tak acuh terhadap kondisi dan situasi masyarakat niscaya tidak berhasil. Kerusakan dari fatwa yang kurang bijaksana itu akan lebih banyak daripada kemashlahatan yang diharapkan.
KEWAJIBAN BAGI SEORANG MUFTI
Seorang mufti yang hendak menyampaikan fatwanya harus memelihara hal-hal berikut :
a.       Tidak memberikan fatwa sewaktu dalam keadaan gundah, grogi, takut atau tidak tenang jiwanyan.
b.      Menghadapkan hatinya kepada Allah, memohon pertolongan kepadanNya  agar dibuka jalan petunjuk kebenaran. Untuk itu ia harus mengkaji alqur an, as-sunnah dan atsar-atsar sahabat, menelaah dan mempelajari pendapat-pendapat para ulama.
c.       Mengusahakan hukum yang di fatwakan diridhai ole tuhan. Dalam hal ini tidak layak jika fatwanya itu hanya menurut pendapat-pendapat di antara para ulama tanpa memberitahukan yang lebih rajih diantara pendapat-pendapat tersebut dengan argumentasinya yang lebih kuat.[13]
MUFTI MUQALLID
           Seseorang yang belum sampai kepada tingkatan mujtahid, akan tetapi, dia menghafal pendapat –pendapat dari salah seorang mazhab yang kemudian di ambil dan di ikutinya pendapat mazhab itu dibolehkan memberikan fatwa pendapat mazhab yang di ikuti dan di yakini kebenarannya itu selagi memahami itu selagi dia memahami dasar –dsarnya dan melaksanakanya dengan baik dan tidak ada mujtahid lain tempat bertanya.[14]
           Mufti muqallid bukan mufti sesungguhnya. Tetapi dia adalah penyampai fatwa orang yang di taqlidkannya. Dalam hal ini dia harus menerangkan nama imam yang di ambil pendapatnya bukan hanya disebutkan terdapat didalam kitab-kitab mazhab saja.

PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA MEMBERI KEPUTUSAN ( QADHA’) DAN MEMBERI FATWA (IFTA’)
           Antara kekuasaan qadha dan ifta terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya ialah bahwa baik hakim maupun mufti harus :
a.       Memahami peristiwa yang hendak dimintakan keputusan atau fatwa.
b.      Memahami hukum syar i yang akan diterapkan kepada peristiwa tersebut.
Adapun perbedaanya ialah :
1.      Memberi fatwa itu ebih luas jangkauannya dari pada memberi keputusan. Fatwa bisa di berikan kepada siapa saja dari teman atau kawan, orang laki-laki atau perempuan , kerabat jauh atau dekat dan orang awam atau cendikiawan.
2.      Keputusan diberikan kepada orang yang dikalahkan perkaranya dan harus dilaksanakan. Berlainan dengan fatwa dimana orang yang diberi fatwa dapat memilih untuk mengikuti fatwa yang diberikan atau mmeninggalkannya.
3.      Keputusan hakim yang berlawanan dengan fatwa seorang mufti tetap dijalankan. Fatwa dari seorang mufti tidak dianggap dapat membatalkan keputusan hakim yang mendahuluinya . berlainan dengan keputusan hakim yang berlawanan dengan keputusan hakim yang berlawanan dengan keputusan hakim yang mendahuluinya tidak dapat dilaksanakan.
4.      Seorang mufti tidak dapat memberi keputusan , kecuali jika diberi kekuasaan untuk memberi keputusan. Berlainan dengan hakim ia wajib memberikan fatwa bila dikemukakan masalah kepadanya dan boleh memberikan fatwa atas masalah yang tidak diajukan kepadanya.[15]
Ruang Ijtihad
Tidak semua hukum syariah dapat dijadikan majâl (ruang) ijtihad. Karena itu, ada ulama ushul yang mendefinisikan ijtihad sebagai: usaha keras mujtahid dalam rangka mencari hukum syariah dengan cara istinbâth (penggalian hukum) atas masalah yang tidak memiliki dalil qath’i baik dari nash (al-Quran dan as-Sunnah) maupun Ijmak, yakni Ijmak Sahabat.[16] Dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan:
لاَ اِجْتَهَادَ مَعَ النَّصِّ

Tidak boleh ada ijtihad ketika ada nash (Al-Bujairimi, Tuhfatul Habîb ‘ala Syarkh al-Khathîb, II/130).
Ada dua majâl (ruang) yang di dalamnya ijtihad boleh dilakukan:
Petama: hukum syariah yang nash (dalil)-nya tidak qath’i. Ijtihad di sini dilakukan dalam rangka untuk memahami makna nash, serta mengungkap maksud kata dan pengertian yang dikehendakinya.
 Kedua: hukum syariah yang semula tidak ada nash (dalil)-nya. Ruang ijtihad di sini sangat luas dan dilakukan untuk menggali (istinbâth) hukum atas setiap fakta atau kejadian baru menurut ketetapan Asy-Syâri’ (Pembuat hukum) melalui amarat (‘illat) yang menunjukkan pada hukum.[17]
BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syariah yang bersifat praktis dengan cara istinbâth (penggalian hukum)[18]. Dalam Taysîr al-Wushûl (Abu Rustah: 2000, 257), ijtihad menurut istilah ahli ushul fikih adalah mengerahkan segenap kemampuan dalam rangka mencari dugaan kuat terhadap hukum syariah sehingga seorang mujtahid merasa tidak mampu lagi untuk berbuat lebih dari yang telah diusahakannya.
Ijtihad bukan sesuatu yang sangat sulit hingga mustahil dilakukan. Sebab, ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan dalam rangka mencari dugaan kuat terhadap hukum syariah. Bagi orang yang telah mampu dan telah memenuhi syarat-syarat ijtihad, melakukan ijtihad ini bukan perkara yang mustahil.[19]Adapun terkait dengan syarat-syarat ijtihad, ulama berbeda dalam menetapkannya.

                                                                        DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Muhammad Husin, Dirâsât fi al-Fikr al-Islâmiyah, (Beirut: Dar al-Bayariq), Cetakan I, 1990.
Abu Rustah, Atha’ bin Khalil bin Ahmad bin Abdul Qadir al-Khathib, Taysîr al-Wushûl ila al-Ushûl, Dirâsât fi Ushûl al-Fiqh, (Beirut: Dar Al-Ummah), Cetakan II, 2000.
Al-Amidi, Ali bin Muhammad bin Salim at-Taghlibi Abul Hasan Saifuddin, Al-Ahkâm fi Ushûl al-Ihkâm, (Beirut: Dar al-Fikr), 1996.
Al-Bujairimi, Sulaiman bin Muhammad bin Umar, Tuhfat al-Habîb ‘ala Syarkh al-Khathîb, (Dar al-Ma’rifah), tanpa tahun.
Al-Ghazali, Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Abu Hamid, Al-Mustashfa fi Ushûlil Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), 1993.
Hasan, Khalid Ramadhan, Mu’jam Ushûl al-Fiqh, (Ar-Raudhah), Cetakan I, 1998.
An-Nabhani, asy-Syaikh Taqiyuddin, Muqaddimah ad-Dustur aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
An-Nabhani, asy-Syaikh Taqiyuddin, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Juz I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2001.
Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah, Irsyâd al-Fukhûl, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), 1994.
Asy-Syathibi, Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Gharnathi, Al-Muwâfaqât, (Beirut: Dar al-Fikr), tanpa tahun.
Thawilah, Abdul Wahab Abdus Salam, Atsar al-Lughah fi Ikhtilâf al-Mujtahidîn, (Dar as-Salam), Cetakan II, 2000.


[1]. Asy-Syathibi, Al-Muwâfaqât, IV/48
[2] Abu Rustah, Taysîr al-Wushûl ila al-Ushûl, Dirâsât fi Ushûl al-Fiqh, hlm. 257
[3]. Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fukhûl, hlm. 370
[4] . An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, I/209
[5] Mukti,ali.Ijtihad dalam pandangan Muhammad Abduh Ahmad Dakhlan, dan Muhammad Iqbal.hal:88
[6]. Ali,anwar yusuf.Studi Agama Islam.hal:105
[7] Thawilah, Atsar al-Lughah fi Ikhtilâf al-Mujtahidîn, hlm. 36).
[8] Al-Amidi, Al-Ahkâm fi Ushûlil Ihkâm, 3/226.
[9] An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 43.
[10] ibid
[11] . Al-Ghazali, Al-Mustashfa fi Ushûlil Fiqh, hlm. 342
[12] Firdaus, M.Ag  ushul fiqh  “metode mengkaji dan memahami hukum islam secara komprenhensif ” cet zikrul . halm 120
[13] Wahbah al-zuhaili, ushul al-fiqh al-islami, juz 1 halmn 230
[14] Mukhtar yahya & fatchurrahman, dasar-dasar pembinaan hukum islam, ( bandung : al- ma’rif) halm 117.
[15] Abdul wahab khallaf khallaf,  kaidah-kaidah hukum islam, hlmn 87
[16] Hasan, Mu’jam Ushûl al-Fiqh, hlm. 21
[17] Thawilah, Atsar al-Lughah, hlm. 40
[18]. Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fukhûl, hlm. 370
[19] An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 43.

Categories:

Leave a Reply