Bijeh Pade

A. PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan sunnah rasul dan bagian dari ajaran agama. Islam  telah mengatur dan menetapkan segala hal yang berkaitan dengan pernikahan secara spesifik. Aturan dan ketetapan tersebut  harus dipatuhi oleh kedua calon mempelai serta keluarga masing-masing, agar pernikahan yang dilakukan menjadi sah secara agama dan mendapatkan rahmat dan ridha Allah SWT.  Dalam ajaran Islam, terdapat beberapa rukun dan syarat pernikahan yang dapat menentukan sah atau tidaknya akad nikah yang dilakukan.
Adapun Salah satu rukun nikah yaitu adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah, misalnya calon suami yang akan dinikahi adalah seorang kafir sementara calon istri adalah seorang muslimah. Maka kekafiran dari salah satu pihak ini menyebabkan terhalangnya pernikahan secara syar’i. Namun fenomena selama ini menunjukkan bahwa pernikahan antara seorang muslim dengan non muslim adalah hal yang sangat lazim terjadi di negara ini.
Penduduk Indonesia terdiri dari berbagai macam agama dan kepercayaan. Perbedaan inilah yang menjadi perhatian khusus dari sudut pandang agama Islam. Sehingga tujuan dari sebuah pernikahan benar-benar tercapai seperti yang telah dijelaskan dalam ajaran Islam. Pernikahan bernuansa keragaman ini banyak terjadi dan kita jumpai di dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya bila dilihat dari segi etnis / suku bangsa dan agama. Konsekuensinya, dalam menjalani kehidupannya, masyarakat Indonesia dihadapkan kepada perbedaan – perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup dan interaksi antar individunya. Yang menjadi perhatian dari pemerintah dan komponen bangsa lainnya adalah masalah hubungan antar umat beragama. Salah satu persoalan dalam hubungan antar umat beragama ini adalah masalah Pernikahan Muslim dengan non-Muslim.
Dalam kompilasi hukum Islam pasal 3 dirumuskan bahwa perkawinan bertujuan untuk merealisisakan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
Hal ini berdasarkan Al-qur an dalam surat Ar-Ruum ayat 21:
                    
”Dan di antara tanda-tanda kekuasan Allah ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendir .supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda–tanda bagi kaum yang berpikir”.
Menurut ayat di atas,  kita dapat menyimpulkan bahwa tujuan yang akan dicapai dalam suatu pernikahan dapat dicapai melalui keterpaduan antara ketentraman (sakinah) dan rasa kasih sayang (rahmah). Lalu apakah tujuan tersebut dapat  tercapai apabila pernikahan yang terjadi berdasarkan perbedaan agama,berbeda landasan  dan kepercayaan?.
Islam telah menuntun kita agar tujuan pernikahan seperti yang telah diisyaratkan pada ayat di atas dapat kita capai dengan ridha dari Allah SWT.  Misalnya, Islam menganjurkan  kita agar memilih  istri yang patuh dan setia kepada suami, menjadi ayah yang penuh kasih sayang serta menjadi ibu yang  lemah lembut dan berperasaan halus, mendidik anak-anak agar menjadi anak yang shaleh dan kerabat-kerabat yang saling membina silaturrahim.
Tak dapat dipungkiri bahwa perbedaaan agama yang dianut oleh masyarakat  dalam sebuah negara merupakan hal yang  lumrah. Maka, perbedaan ini dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan beda agama.[1]
Pernikahan merupakan bagian dari kemanusiaan seseorang, seorang muslim yang hidup di negara yang majemuk seperti ini hampir dipastikan sulit untuk menghindari dari persentuhan dan pergaulan dengan orang yang beda agama. Pada posisi seperti ini ketertarikan pria atau wanita Muslim dengan orang yang beda agama dengannya atau sebaliknya, yang berujung pada pernikahan hampir pasti tidak terelakkan. Dengan kata lain, persoalan pernikahan antar agama hampir pasti terjadi pada setiap masyarakat yang majemuk.
Maka, dari fenomena di atas, penulis tertarik untuk membahas permasalahan tersebut secara lebih mendalam, yaitu  apa hukum nikah beda agama serta apa landasan hukum yang digunakan serta apa hikmahnya.
Pembahasan ini untuk menjawab fenomena-fenomena dalam masyarakat khususnya Indonesia, dimana pernikahan beda agama telah terjadi ditengah-tengan masyarakat islam.
Dalam membahas makalah ini penulis mendiskripsi pendapat para ulama khususnya ahli fiqh baik modern maupun klasik tentang  hukum nikah beda agama, kemudian menganalisi dengan mengunakan pendekatan-pendekatan terutama pendekatan fiqh, ushul fiqh, tafsir dan pendekatan sosial budaya terutama budaya masyarakat Indoneisa. Setelah menganalisi pendapat-pendapat para ulama tersebut kemudia penulis mengambil kesimpulan tentang hukum nikah beda agama.
B. Pengertian Nikah Beda Agama
Pernikahan  beda agama yaitu pernikahan yang terjadi  antara laki-laki muslim dengan perempuan non muslim, ataupun sebaliknya,[2] Dua insan yang memiliki agama dan keyakinan yang berbeda bersatu dalam suatu ikatan pernikahan. Hal semacam ini bukanlah suatu kejanggalan di negara kita, yang mengakui secara resmi lima agama, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Budhha.
Pernikahan beda agama terdiri dari dua macam, yaitu:
  1. Pernikahan seseorang dengan  ahli kitab
  2. Pernikahan seseorang  dengan  non ahli kitab.
Perbedaan kepercayaan antara kedua orang tua inilah yang nantinya akan berbuah hasil yang rumit kepada anaknya, seperti pelaksanaan ibadah. Karena  hal ini dapat menyebabkan kebingungan pada anak dalam memilih salah satu dari dua agama dan kepercayaan yang dianut oleh kedua orang tuanya.
Masalah ini sangat menarik untuk dibahas. Karena hal semacam ini berhubungan dengan masalah akidah. Dan apabila suatu perbuatan dilakukan tidak sesuai dengan akidah maka akan melahirkan dampak negatif, baik antara suami dan istri maupun terhadap anak-anak mereka.
C. Hukum Nikah Beda Agama
Pernikahan beda agama dapat menimbulkan hal yang negatif, misalnya perbedaan agama yang dianut ayah dan ibu akan memungkinkan terjadinya berbagai benturan dan kesulitan di lingkungan keluarga,  khususnya mengenai ibadah anak, pendidikan anak,  makanan yang disajikan dan hal-hal lain yang menyangkut keagamaan.
Oleh sebab itu pernikahan beda agama semestinya tidak terjadi, atau dengan kata lain harus dihindari karena pernikahan yang semestinya yaitu pernikahan yang berlandaskan pada akidah dan kepercayaan yang sama sehingga mudah melahirkan akhlak islami.[3]
Islam melarang dengan tegas pernikahan  beda agama, baik pernikahan antara lelaki muslim dengan perempuan non muslim ataupun sebaliknya, apakah ia musyrik (non ahli kitab) atau ahli kitab. Kedua bentuk pernikahan yang demikian itu sangat jelas diharamkan dalam Islam, berdasarkan  surat Al-Baqarah ayat 221:
                                       

”Dan janganlah kamu menikahi wanita wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita yang mukmin lebih baik dari wanita musrik walaupun ia menarik hatimu dan jangan lah kamu menikahkan orang-orang musyrik”.[4]
Dalam ayat ini terdapat keterangan agar orang muslim selalu berhati-hati terhadap jebakan-jebakan orang orang musyrik dan atheis untuk menggiring dan  meninggalkan agama Islam serta menawarkan perempuan dari golongan mereka  yang cantik untuk dinikahkan.

a.       Hukum Nikah dengan Ahlu kitab
Hukum asal dalam pernikahan beda agama dengan wanita ahli kitab yaitu mubah.menurut pendapat jumhur ulama.
Adapun pendapat yang berbeda dengan pendapat di atas yaitu ,pendapat umar bin khatab yang mana beliau tidak memandang boleh menikah dengan ahli kitab.
Islam dengan tegas melarang pernikahan beda agama, yang  mana  pada surat Al-Baqarah di atas dijelaskan bahwa laki-laki dan perempuan Islam dilarang menikah dengan laki-laki  dan perempuan musyrik dan kafir karena dalam lanjutan ayat tersebut disebutkan alasan pelarangan pernikahan semacam ini, yaitu karena orang musyrik itu akan membawa kamu ke dalam neraka sedangkan Allah SWT akan membawa kamu ke dalam syurga dan mencurahkan ampunanNya kepada kita.
Dari penjelasan di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Islam melarang pernikahan seorang muslim dengan  seorang  musyrik. Akan tetapi kita juga mencoba menelaah  sebuah ayat dalam surat Al-Maidah yang mana di dalamnya mengandung makna bahwa lelaki muslim boleh menikahi wanita ahli kitab.
Lalu bagaimana hukum pernikahan yang seperti itu? Dan apakah masih ada wanita yang disebut sebagai wanita ahli kitab dalam masa sekarang ini? Perlu dijelaskan bahwa, wanita ahli kitab adalah wanita–wanita dari golongan yahudi dan nasrani.
Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, yaitu mengenai hukum pernikahan lelaki muslim dengan wanita ahli kitab. Terdapat  3 pendapat ulama yang menjelaskan hal ini, yaitu :
1. Pendapat pertama:
Mereka berpendapat bahwa boleh menikahkan lelaki muslim dengan wanita ahli kitab. Pendapat ini di kemukakann oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Dalil atau alasan mereka yang membolehkan adalah: asalkan wanita tersebut  berasal  dari golongan  ahli kitab,  yaitu yahudi dan nasrani maka mereka dibolehkan untuk  dinikahi.[5]
Bahwa  pendapat yang dikemukakan oleh para ulama tersebut berdasarkan dari pemahaman  surat Al-Maidah yang menyatakan boleh menikahi wanita ahli kitab, yaitu dalam surat Al-Maidah ayat 5 :
                                           
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik – baik .makanan (sembelihan ) orang-orang yang diberi alkitab itu halal bagimu, dan makanan mu halal pula bagi mereka.dan dihalalkan mengawini  wanita – wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita –wanita yang menjaga kehormatan di antara orang –orang yang diberi alkitab sebelum kamu,bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud mengawininya ,tidak dengan maksud berzina  dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik .barang siapa yang kafir sesudah beriman  (tidak menerima hukum-hukum islam) maka hapuslah amalannya dan ia dihari akhiraty termasuk orang-orang merugi.
2. Pendapat ke dua:
Para ulama  berpendapat bahwa boleh menikahi wanita ahli kitab,akan tetapi  dengan beberapa syarat. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. ” Menurut pendapat mereka, laki-laki muslim boleh menikahi wanita yahudi / nasrani dengan syarat yaitu ibu bapak wanita tersebut harus orang yahudi dan nasrani juga”. Jika bapak atau nenek wanita itu menymbah berhala dan bukan termasuk golongan ahli kitab (taurat /injil), kemudian ia memeluk agama yahudi atau nasrani maka tidak boleh menikahi wanita dari keturunan itu.[6]
Ulama modern yang membolehkan pernikahan dengan ahli kitab dengan syarat adalah Professor Hazairin. Beliau membolehkan laki laki muslim menikah dengan perempuan ahli kitab dengan syarat, yaitu   susah mendapatkan wanita muslimah di sekitarnya yang hendak berumah tangga. Misalkan seperti keadaan seorang yang tinggal di sebuah negara yang sangat jarang ditemui  kaum muslimahnya dan sebaliknya,  sangat banyak kaum wanita ahli kitab.
Di samping syarat di atas yang di kemukakan oleh Duktur Hazrain, terdapat syarat lain yang harus dipenuhi yaitu kadar iman lelaki muslim sangat kuat dan mampu memelihara agama dan keturunannya. Namun jika iman dan kemampuannya tidak kuat maka pernikahanan tersebut dilarang karena dikhawatirkan tidak mendidik keluarganya  berdasarkan ajaran agama Islam.[7]
3.      Pendapat yang ketiga :
Pendapat yang melarang ataupun mengharamkan pernikahan beda agama DR Yusuf al Qardhawi dalam bukunya halal dan haram dalam islam menyatakan “ kalau jumlah muslimin di suatu negeri termasuk minoritas ,maka menurut pendapat yang lebi kuat laki-laki muslim dinegri tersebut haram menikahi perempuan non muslimah,juga karena akan merusak kondisi perempuan-perempuan muslimah itu sendiri .[8]
Akan tetapi meskipun Yusuf al Qardhawi mengharamkan pernikahan beda agama antara lelaki muslim dengan wanita ahli kitab, beliau juga membolehkan pernikahan ini jika  dalam keadaan tertentu dan dengan syarat yang sangat ketat[9] , yaitu:
1.   Kitabiah itu benar -benar berpegang pada ajaran samawi , tidak atheis.
2.  Kitabiah yang muhshanah (memelihara kehormatan diri dari perbuatan zina).
3. Wanita itu bukanlah kitabiah  yang kaumnya berada pada status permusuhan dan  peperangan dengan kaum muslmin.
4.   Dibalik pernikahan dengan kitabiah itu tidak terjadi fitnah, yaitu mafsadah ataupun kemudhartan. Makin besar kemungkinan terjadinya kemudharatan maka makin besar tingkat larangan keharamannya karena nabi bersabda:  “tidak bahaya dan tidak membahayakan.”
Selanjutnya Yusuf al Qardhawi mengingatkan bahwa terdapat banyak kemudharatan yang mungkin terjadi karena pernikahan dengan wanita non muslim, diantaranya adalah:
1. Suami bisa saja terpengaruh dengan agama si istri.
2. Akan menimbulkan kesulitan dalam hal suami istri dan juga berpengruh pada anak mereka.
Syeikh Yusuf al Qardhawi juga menjelaskan adanya rukhsah nikah dengan non muslim atau kitabiah. Ada dua keharusan yang harus dipenuhi, yaitu:
  1. Wanita kitabiah itu benar-benar beragama samawi
  2. Yang mengontrol atau yang memberi pengaruh dalam keluarga haruslah dari   seorang suami muslim yang teguh berpegang pada ajaran Islam.[10]
Adapun ayat ” dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi alkitab sebelum kamu ” (almaidah ayat 6)
Menurut mereka hendaklah diihtimalkan kepada perempuan ahlul kitab yang telah masuk islam  atau di ihtimalkan kepada pengertian ,bahwa kebolehan menikahi ahli kitab adalh pada masa (keadaan ) perempuan-perempuan islam sedikit jumlahnya.[11]
Pendapat selanjutnya yang melarang penikahan beda agama adalah pendapat umar bin khatab yang melarang laki-laki muslim terutama para pemimpinnya kawin dengan perempuan non muslimah (wanita ahlu kitab)
Larangan ini didasarkan pada pertimbangan untuk melindungi perempuan islam,bersuamikann pemimpin islam dan untuk kepentingan negara,agar jaangan sanpai penbguasa muslim membocortkan rahasia negara melalui istrinya yang nonmuslamah itu. Bahkan dalam suatu riwayat  umar ra pernaqh berkata pada huzaifah ”bila orang-orang islam suka mengawini perempuan kitabiah  maka siapakah yang akan mengawini perempuan islam? Ini memberi alsan bahwa khalifah umar melarang perkawinan ini dalam bidang penjagaan dan pengwasan  dan bukan karena haram kawin dengan peremmpuann-perempuan ahlu kitab.[12]
  • Pendapat Prof Dr. Hj. Huzaimah, MA :
Bahwa menikah dengan ahli kitab hukumnya adalah haram syadli dhariah. Karena terjadi mafsadah dan madharat, baik lelaki muslim dengan wanita ahli kitab, dan dengan wanita ahli kitab yang sudah menyimpang dari ajaran taurat dan injil yang asli maupun yang belum menyimpang, karena dalam surat Al-Maidah ayat 5 tersebut tidak membedakan antara wanita ahli kitab yang masih murni dengan wanita ahli kitab yang sudah melencang dari ajaran agamanya. Dikarenakan keduanya dapat menimbulkan mafsadah dan madharat, maka untuk menghindari mafsadah dan madharat tersbut, pernikahan  dengan wanita ahli kitab diharamkan syadd li addhriah.
Terlebih lagi dalam kondisi sosial dan politik di Indonesia. Dan juga terdapat mafsadah dan mudhrat lain  terhadap si anak, baik secara psikologis atau sosiologis.
b. Hukum nikah dengan non ahlul kitab
para ulama sepakat untuk mengharamkan pernikahan yang terjadi pada keadaan seperti itu,yaitu seorang wanita muslim haram hukumnya menikahi dengan lelaki musyrik.dan pernikahannya tidak sah bila menikah dengan laki-laki non-muslim dan begitu juga sebaliknya.
Al-Quran menjelaskan Dalam surat Al-Baqarah 221 :
                                       artinya:

Categories:

One Response so far.

  1. Anonim says:

    bereh that........

Leave a Reply