Bijeh Pade

Soal : 2. DALAM TEOLOGI ISLAM DIKENAL TOKOH ABU HASAN AL-'ASY'ARI DAN KAWAN2NYA SEPERTI AL-JUWAINI, AL-BAQILANI, DAN AL-GHAZALI. PEMBAHASAN YANG PALING PENTING DALAM ISLAM DAN MENIMBULKAN PERBEDAAN YANG TAJAM ADALAH PERSOALAN KASAF. JELASKAN PANDANGAN MEREKA TENTANG KASAF DENGAN MENGEDEPANKAN ARGUMENTASI2 PRIMER. LEBIH DARI ITU BERIKAN ANALISA ANDA TENTANG SYAFAAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN BANYAKNYA KEJAHATAN DALAM KEHIDUPAN MANUSIA SESUAI PANDANGAN AL-GHAZALI.

  Jawaban :
Al-Kasb  menurut   al-Asy’ari ( الكسب عندالأشاعرة ):
 Tokoh pendiri Asya’irah yaitu Abu Hasan al-Asy’ari   dalam teori “al-Kasb” membagi perbuatan manusia kedalam dua bentuk, yaitu: pertama: Al-Af’al al-Idhtirariyyah, dan bentuk kedua adalah: Al-Af’al al-Ikhtiyariyyah. Yang termasuk dalam bagian pertama adalah segala perbuatan yang bersifat reflektif yang dilakukan secara terpaksa atau di luar alam kesadaran. Sedangkan yang masuk pada bagian kedua adalah segala perbuatan yang dilakukan secara terencana atau terprogram. Dalam bentuk terakhir ini, sebelum manusia bertindak terlebih dahulu Allah memberikan Qudrat dan Iradat padanya sehingga --dengan Qudrat dan Iradat itu-- manusia mampu mengusahakan perbuatannya (al-Muktasib).
Selanjutnya perbuatan yang telah diusahakan (al-Kasb) tadi merupakan implikasi dari kekuatan baru yang ada padanya sehingga apabila seseorang ingin melakukan suatu perbuatan lalu memutuskan dan berkonsentrasi untuk melakukan perbuatan itu, maka bersamaan dengan itu pula, Allah menciptakan padanya suatu kekuatan untuk berbuat. Postulat yang digunakan Asy’ari dalam pemahaman ini adalah “Sebuah perbuatan diusahakan (al-Kasb) oleh manusia dengan kekuatan yang diciptakan (al-Khalq) oleh Allah padanya”.[1] Baik perbuatan idhtirary maupun ikhtiyary dalam konsep “Kasb” Asy’ari termasuk ciptaan Allah, namun bedanya adalah, yang pertama dilakukan oleh manusia secara terpaksa dan yang kedua dilakukan berdasarkan usaha dengan daya diciptakan Allah padanya.[2]
Selanjutnya dikatakan bahwa perbuatan yang mendapat tuntutan dan pertanggungjawaban hanyalah perbuatan yang kedua (ikhtiyary) tanpa yang pertama (idhtirary). Argumen yang dimajukan oleh Asy’ari menyangkut diciptakannya Kasb oleh Allah adalah ayat Alqur’an: “Allâhu khalaqakum wamâ ta’malûn“, artinya: “Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu”.[3]
Asy’ari[4] menyatakan bahwa hakikat kasb adalah mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukan dengan kekuasaan hadis (yang dihasilkan) manusia yang merupakan pelaku dari perbuatan tersebut. Berdasarkan definisi ini dapat disimpulkan bahwa perolehan pengaruh kekuasaan (kekuatan) yang bersumber dari manusia dalam mewujudkan sebuah perbuatan.
Dalam teologi Islam, pembahasan tentang kasab menjadi topik yang paling penting dan sering menimbulkan perbedaan pendapat yang tajam. Al-Asy’ari mengatakan bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sehingga Asy-‘ariah membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia adalah yang mengupayakannya (kasb). Seperti halnya Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat ini terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
Tentang kekuasaan Tuhan, Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak, kemutlakan kekuasaannya tidak tunduk dan terikat kepada siapa dan apa pun. Tuhan dapat berkehendak menurut apa yang dikehendaki-Nya. Dengan paham kekuasaan mutlak di tersebut, Asy’ari menolak paham keadilan Tuhan yang dibawakan oleh Mu’tazilah. Bila menurut paham keadilan, Tuhan wajib memberikan pahala (balasan baik) kepada orang yang berbuat baik dan hukuman bagi orang pelaku dosa, maka menurut Asy’ari tidak demikian halnya. Bagi Asy’ari, Tuhan berkuasa mutlak, dan tak satu pun yang wajib bagi-Nya. Tuhan berbuat sekehendak-Nya, sehingga kalau Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam surga bukanlah Ia bersifat tidak adil, dan jika Ia masukkan seluruhnya ke dalam neraka tidak pula Ia bersifat zalim.
Mengenai perbuatan manusia, menurut Asy’ari bukanlah diwujudkan oleh manusia sebagaimana pendapat Mu’tazilah, tetapi diciptakan oleh Tuhan. Dalam hal ini Asy’ari mengemukakan alasan logika sebagaimana yang dikutip oleh Abdurrahman Badawi: Kita ketahui bahwa kufur itu adalah buruk, merusak, batil dan bertentangan, sedang perbuatan iman itu adalah bersifat baik, tapi berat dan sulit. Sebenarnya orang kafir ingin dan berusaha agar perbuatan kafir itu baik dan benar, tetapi hal itu tidak dapat ia wujudkan. Sebaliknya, orang mukmin menginginkan agar perbuatan iman itu tidak berat dan sulit, tetapi hal itu tidak dapat pula ia wujudkan. Dari argumen logika ini tampaknya manusia—menurut Asy’ari—tidak memiliki daya (qudrat atau istitha’ah) yang efektif untuk mewujudkan kehendak ke dalam bentuk perbuatan. Selanjutnya, ia katakan bahwa yang mewujudkan perbuatan kafir atau perbuatan iman bukanlah orang kafir atau mukmin itu sendiri yang memang tak sanggup membuat kufr itu bersifat baik/benar dan membuat perbuatan iman itu menjadi mudah dan tidak sulit. Jadi, pencipta perbuatan kafir dan iman yang sebenarnya (hakiki) dalam hal ini adalah Tuhan yang memang menghendaki hal yang demikian.
Dalam menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan qodrat dan iradat Tuhan, Abu Hasan Ali Bin Ismail al-Asy’ari menggunakan paham kasb yang dimaksud dengan al- Kasb adalah berbarengan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Artinya apabila seseorang ingin melakukan suatu perbuatan, perbuatan itu baru terlaksana jika sesuai dengan kehendak Tuhan.[5]
Dari gambaran di atas dapat diketahui bahwa untuk mewujudkan perbuatan bagi manusia diperlukan adanya kehendak (al-masyi’ah) dan daya (qudarah atau al-istitha’ah). Dalam hal ini terdapat dua daya, yakni daya manusia yang digerakkan (tidak efektif) dan daya Tuhan, Penggerak (efektif). Mengingat daya yang efektif adalah daya Tuhan, maka sebenarnya perbuatan yang terjadi pun adalah perbuatan Tuhan, sedang manusia dalam hl ini hanya memperoleh perbuatan. Inilah agaknya yang dimaksud dengan “kasb” menurut pandangan Asy’ari. Atau dengan perkataan lain, kasb adalah ketergantungan daya dan kehendak manusia kepada perbuatan yang ditentukan dan diciptakan oleh Tuhan sebagai pelaku hakiki. Dengan demikian manusia tidak mempunyai kebebasan dan kekuatan mewujudkan perbuatannya. Oleh karena itu, setidaknya dari sudut ketidakmampuan manusia dalam berbuat ini, Asy’ari lebih dekat dengan faham Jabariah.
Pada prinsipnya Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh Allah. Daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya, tetapi yang berlaku adalah bahwa Allah menciptakan perbuatan untuk menusia  dan menciptakan pula pada diri manusia daya untuk melahirkan perbuatan-perbuatan tersebut. Jadi perbuatan-perbuatan di sini adalah ciptaan Allah dan merupakan kasb (perolehan) bagi manusia. Dengan begitu kasb mempunyai pengertian  penyertaan perbuatan  dengan daya manusia yang hadits. Dan ini berimplikasi bahwa perbuata manusia  dibarengi dengan daya dan kehendakNya dan bukan atas daya dan kehendak manusia itu sendiri.[6]
Dari sini dapat disimpulkan bahwa fa’il (pelaku) sebenarnya suatu perbuatan manusia adalah Allah dan manusia merupakan wadah bagi  fi’il (perbuatan) yang disebut kasb. Namun demikian karena dia juga berdaya  dan mempunyai kehendak yang ditujukan untuk mewujudkan kasb ini, maka bisa saja menisbastkan perbuatan kepada manusia. Hanya saja, yang perlu dicermati adalah adanya pandangan bahwa daya dan kehendak itu tidak berpotensi untuk menjadi pencipta atau pelaku. Ia hanya merupakan penyerta bagi perbuatan Tuhan dan wujudnya menjadi kasb. Oleh karena itu tidak bisa tidak, perbuatan manusia harus diletakkan dalam kerangka kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan.
Tampaknya, Aliran Asy’ariyah muncul dengan teori kasbnya untuk menengahi pertentangan antara Qadariyah dan Jabariyah[7] dengan menyatakan bahwa manusia wajib berusaha, namun disandarkan bahwa usaha manusia itu tidak dapat berpengaruh terhadap jalan kehidupannya yang telah ditentukan Tuhan. Namun demikian, ini tidak selalu harus diinterpretasikan sebagai suatu tanda fatalistis. Mungkin saja yang dimaksudkan oleh pernyataan tersebut ialah apapun yang dilakukan manusisa tidak akan melampaui ketentuan sunnatullah, yaitu hukum alam ciptaan Tuhan dan hal ini hanya tepat untuk analisis tingkat Tuhan, tetapi tidak tepat untuk analisis tingkat manusia. Bila dibawa ke pikiran manusia, maka faham yang demikian itu  mungkin akan berakhir dengan anggapan  bahwa konsep Asy’ariyah tidak percaya  pada hukum alam dan kausalitas. Apalagi di kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, dikenalkan adanya rukun iman yang ke-6, yaitu percaya kepada qadla dan qadar Tuhan, hal ini menambah anggapan bahwa paham Asy’ariyah adalah falatistik dan Jabariyah.
Qadhi Baqilani (wafat 403 H) berkata: “Setiap perbuatan terdiri dari dua sisi: 1. Wujudnya perbuatan. 2. Julukan atau titel perbuatan yang merupakan turunan atas perbuatan tersebut dan kekuasaan manusia tidak memiliki kelayakan pengaruh pada wujud dan terolahnya perbuatan, melainkan hanya memiliki pengaruh pada julukan perbuatan. Atas alasan ini pengaruh pada julukan yang memiliki kelayakan untuk mendapatkan ganjaran atau hajaran. Sejatinya, wujudnya perbuatan makhluk Tuhan dan julukan perbuatan misalnya, julukan atau titel menunaikan shalat, berdusta, dan sebagainya merupakan perolehan manusia dan disandarkan kepada manusia. Baqilani dalam menjelaskan definisi yang diutarakan berkata: “Setiap orang orang menemukan perbedaan nyata di antara dua jumlah kalimat: A. mengadakan, kalimat seperti shalat (shalli), mengerjakan puasa (shama), dan berdiri (qama). Yang layak disandarkan kepada Tuhan kalimat-kalimat dan karakteristik bagian pertama dan julukan-julukan bagian kedua tidak patut disandarkan kepada Tuhan, melainkan disandarkan kepada manusia.”[8]
Al-Baqillani dianggap melangkah lebih jauh dari Asy’ari.[9] Kalau Asy’ari menganggap perbuatan manusia itu diciptakan Tuhan seluruhnya, sehinga daya yang diciptakan Tuhan pada manusia sama sekali tidak dipahami sebagai daya yang efektif, maka al-Baqilani berpendapat, manusia mempunyai peranan yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya. Ia menggunakan istilah genus atau al-Jinsu untuk semua gerak perbuatan yang diciptakan Tuhan dan memaki istilah espece atau al-Nau’u untuk gerakan yang mengambil bentuk, seperti berdiri, duduk, berjalan, berbaring dan sebagainyayang merupakan ciptaan manusia sendiri. Dengan kata lain, gerak mutlak diciptakan Tuhan, sedangkan gerak dalam contoh berdiri, duduk dan semacamnya merupakan perbuatan yang efektif dan diciptakan oleh manusia dan inilah yang dimaksudnya sebagai kasb. Al-Baqillani juga membedakan  antara khlq dan kasb. Khlaq merupakan penciptaan perbuatan dari tiada menjadi ada, sedangkan kasb adalah penciptaan perbuatan dari iradat yang sudah diciptakan Allah. Khalq adalah perbuatan Allah, sementara kasb adalah perbuatan manusia. Dengan demikian, kasb dalam pemahaman al-Baqillani berperan dan memberi bekas secara efektif bagi perbuatan-perbuatan manusia, sekalipun berasal dari daya yang diciptakan Tuhan.[10]
Abdul Malik al-Juwaini al-Naisaburi, yang lahir pada tahun 419 H/1028M dan wafat pada tahun 478H/1085 M), bahkan maju selangkah lagi ke depan mendekati Mu’tazilah dalam kaitannya denga perbuatan manusai. Dalam bukunya al-Irsyad dan Luma’ul-Adillah, di samping ia menekankan ta’wil (interpretasi) terhadap ayat-ayat Tuhan yang bersifat tajjassun atau antromorphist. Al-Juwaini tampaknya sependapat dengan Mu’tazilah untuk mentakwilkan ayat-ayat demikian itu. Selain itu ia menulis bahwa manusia tidak terpaksa dalam mewujudkan perbuatannya dan bahwa manusia berkuasa atas perbuatannya. Ini berarti bahwa manusia punya daya sendiri dalam perbuatannya.[11]
Al-Ghazaliy, sebagai tokoh ketiga dari al-Asy’ariyah, dianggap sebagai revitalisator dari konsep Asy’ari. Nyaris tidak ada yang baru dari al-Asy’ari sebagaimana pendahulunya (al-Baqillani dan Juwaini). Dari Al-Ghazali lah, ajaran Asy’ari berkembang pesat merasuk ke lapisan-lapisan masyarakat dunia Islam, sebagai  seorang teolog yang mahir memainkan pedang filsafat dan akhirnya dikenal sebagai pendekar rohani dan seorang sufi yang alim.
Menurut al-Ghazali, Tuhan tidak memiliki kewajiban-kewajiban. Ia tidak wajib menciptakan makhluk dan karenanya tidak wajib pula membuat syari’at dan memberikan taklif. Oleh karena itu, tidaklah ia wajib memberikan pahala kepada hamba-hamba-Nya yang taat sebagaimana Ia tidak wajib berbuat baik kepada hamba-hamba-Nya. Seterusnya menurut al-Ghazaliy, Tuhan boleh saja membebankan sesuatu yang tidak bisa terpikul oleh  manusia (ta’lif ma la yuthaq), karena taklif sendiri merupakan hak prerogatif Allah.[12]
Syafaat dalam Hubungannya dengan Kejahatan Manusia.

وأما شفاعة الأنبياء عليهم الصلاة والسلام ، والأولياء ، فالشفاعة عبارة عن نور يشرق من الحضرة الإلهية على جوهر النبوة ، وينتشر منها إلى كل جوهر استحكمت مناسبته مع جوهر النبوة لشدة المحبة ، وكثرة المواظبة على السنن ، وكثرة الذكر بالصلاة عليه . ومثاله نور الشمس إذا وقع على الماء فإنه ينعكس منه إلى موضع مخصوص من الحائط لا إلى جميع المواضع ، وإنما اختص ذلك الموضع لمناسبة بينه وبين الماء في الموضع ، وتلك المناسبة مسلوبة عن جميع أجزاء الحائط ، وذلك الموضع هو الذي إذا خرج منه خط إلى موضع النور من الماء حصلت منه زاوية إلى الأرض مساوية للزاوية الحاصلة من الخط الخارج من الماء إلى قرص الشمس بحيث لا يكون أوسع منه ولا أضيق . مثال ذلك لائح ، وهذا لا يمكن إلاّ في موضع مخصوص من الجدار . فكما أن المناسبات الوضعية تقتضي الإختصاص بانعكاس النور ، فالمناسبات المعنوية العقلية تقتضي ذلك في الجواهر المعنوية. ومن استولى عليه التوحيد فقد تأكدت مناسبته مع الحضرة الإلهية ، فأشرق عليه النور من غير واسطة . ومن استولت عليه السنن والإقتداء بالرسول ، ومحبة أتباعه ، ولم ترسخ قدمه في ملاحظة الوحدانية ، لم تستحكم مناسبته إلاّ مع الواسطة ، فافتقر إلى واسطة في اقتباس النور كما يفتقر الحائط الذي ليس مكشوفا للشمس إلى واسطة الماء المكشوف للشمس . وإلى مثل هذا ترجع حقيقة الشفاعة في الدنيا . فالوزير الممكن في قلب الملك ، المخصوص بالعناية ، قد يغضي الملك عن هفوات أصحاب الوزير ، لا لمناسبة بين الملك وأصحاب الوزير ، لكن لأنهم يناسبون الوزير المناسب للملك ، ففاضت العناية عليهم بواسطة الوزير لا بأنفسهم . ولو ارتفعت الواسطة لم تشملهم العناية أصلا لأن الملك لا يعرف أصحاب الوزير واختصاصهم به إلاّ بتعريف الوزير ، وإظهاره الرغبة في العفو عنهم ، فيسمى لفظه في التعريف وإظهار الرغبة شفاعة على سبيل المجاز . وإنما الشفيع مكانته عند الملك ، وإنما اللفظ لإظهار الغرض والله مستغن عن التعريف ، ولو عرف الملك حقيقة اختصاصه لاستغنى عن اللفظ ، وحصل العفو بشفاعة لا نطق فيها ولا كلام . والله تعالى عالم به فلو أَذِن للأنبياء عليهم الصلاة والسلام في التلفظ بما هو معلوم عند الله ، لكانت ألفاظهم ألفاظ الشفعاء. وإذا أراد الله أن يمثل حقيقة الشفاعة بمثال يدخل في الحس والخيال ، لم يكن ذلك التمثيل إلاّ بألفاظ مألوفة بالشفاعة . ويدل على ذلك انعكاس النور بطريق المناسبة ، وأن جميع ما ورد من الأخبار في استحقاق الشفاعة متعلق بما يتعلق بالرسول عليه الصلاة والسلام ، من صلاة عليه ، أو زيارة لقبره ، أو جواب المؤذن والدعاء له عقبه ، وغير ذلك مما يُحكِمُ علاقة المودة والمحبة و المناسبة معه »
Syafaat Nabi saw. Merupakan sesuatu yang harus dihargai. Sementara kalimat syahadat mendatangkan banyak keutamaan bagi yang mengucapkannya, syafaat merupakan keutamaan tambahan dari mengucapkan “Tidak ada Tuhan kecuali Allah. Jadi keberislaman seseorang secara otomatis akan memberinya syafaat.[13] Ada dua bentuk manfaat dari mencari syafaat: ada manfaat yang bersifat langsung, yakni menumbuhkan keimanan dan mendatangkan berbagai kebaikan di dunia, dan ada manfaat yang ditangguhkan hingga datangnya hari kiamat.
 Dalam analisa penulis, syafaat idealnya hanya diperuntukkan kepada orang-orang yang baik amalnya. Karena syafaat itu sendiri merupakan sumbangsih orang yang lebih baik tingkat keiamannya kepada orang yang lebih rendah tingkat keimanannya. Sementara orang-orang yang cenderung berbuat maksiat juga akan mendapatkan syafaat itu secara tidak langsung, tapi karena keberadaan orang-orang beriman lain di sekitar mereka. Tentunya syafaat seperti ini dalam konteks kehidupan manusia di dunia.
Imam al-Ghazali berkata dalam kitabnya Ihya’: wajib mengimani adanya syafaat; pertama-tama dari para nabi, kemudian para ulama, syuhada, lalu dari orang beriman lainnya. Syafaat masing-masing orang sesuai derajat dan kedudukan di sisi Allah Yang Mahatinggi.[14]
Pendapat al-Ghazali di atas merupakan penegasan terhadap kedudukan syafaat bagi manusia. Dalam literatur islam, kemakmuran sebuah negeri dikarenakan banyaknya penduduk negeri itu yang masih beriman. Sehingga Allah menjanjikan kemakmuran yang melimpah. Namun apakah di seluruh pelosok negeri itu dihuni oleh semua orang-orang yang kuat imannya [taqwa]? Tentu tidak, secara keseluruhan. Namun karena keberadaan orang-orang yang beriman itu yang disejahterakan, maka syafaat itu juga dirasakan oleh orang-orang yang imannya masih lemah bahkan yang tidak beriman sekalipun. Dan ini merupakan syafaat tidak langsung.
Syafaat dalam skala yang sangat luas hanya dapat diberikan oleh Nabi SAW. Di hari kiamat semua orang berharap mendapat syafaat darinya dan dapat membantunya masuk surga atau setidaknya mengurangi masa ‘pengampunannya’ di neraka. Dan syafaat ini terbuka bagi umatnya untuk membuat permohonan kepada Nabi SAW di hari kiamat. Sebagaimana dinukilkan oleh al Tirmidzi (hasan), bahwa Nabi saw pernah bersabda; “Kepada seseorang akan dikatakan, ‘Berdirilah, hai fulan ibni fulan, dan ajukanlah syafaat’, orang itu akan berdiri dan mengajukan syafaat bagi kabilahnya, keluarganya, serta bagi satu atau dua orang atau lebih sesuai dengan perbuatannya.”

Soal : 3. MU'TAZILLAH MEMILIKI BANYAK TOKOH, DIANTARA TOKOHNYA ADALAH ABDUL JABBAR. JELASKAN PEMIKIRANNYA TENTANG " AF'ALUL 'IBAD" DAN KONSEP TAQLIF MALA'IDHAH (KEWAJIBAN DILUAR KEMAMPUAN) DAN BAGAIMANA HUBUNGANNYA DENGAN KEADILAN TUHAN.

Jawaban :

Pemikiran  Abdul Jabbar Tentang Keadilan Tuhan, af’alul I’bad, dan Taklif  ma la yutaq.
Al-Qadhi Abdul Jabbar (wafat tahun 415 H), salah satu tokoh terkemuka paham ini mengatakan ketika menerangkan urutan dalil: “Yang pertama adalah dalil akal karena dengan akal bisa terbedakan antara yang baik dan yang buruk …karena Allah tidak berbicara kecuali dengan orang-orang yang berakal…” (Fadhlul I’tizal hal. 139, dinukil dari Mauqif Al-Madrasah Al-’Aqliyyah min As-Sunnah An-Nabawiyyah, 1/97)
            Menurut Abdul Jabbar, konsepsi Keadilan Tuhan itu didasarkan pada (QS. Al-Anbiya’ : 47) yang  bunyinya; “ Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat. Maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika amalan itu hanya seberat biji sawi pun kami akan mendatangkan (memberi pahala) nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat Perhitungan.”
            Dari ayat/dalil tersebut, abdul jabbar menunjukkan konsepsi keadilan Tuhan dengan dasar pertimbangan berikut:
  1. Tuhan tidak akan pernah sedikitpun menzalimi seseorang pun di dunia ini.
  2. Begitu juga Allah tidak menahan hak-hak seseorang( hambaNya). Dan setiap kebaikan akan diperhitungkan walau hanya sebesar atom sekalipun.
  3. Allah Maha Adil dan Maha Cermat dalam membalas semua kejahatan dan kebaikan yang telah dilakukan oleh manusia di dunia seandainya Tuhan berbuat zalim maka pernyataan tersebut tidaklah berarti sama sekali.
  4. Allah juga tidak menciptakan kesesatan dan keimanan. Karena kalua keduanya itu diciptakan maka tidaklah berarti adanya perhitungan (hisab) yang diberlakukan pada manusia pada hari kebangkitan kelak.
  5. Allah akan membalas setiap perbuatan hamba sesuai dengan perbuatannya[15].
Paham keadilan Allah SWT sangat berhubungan dengan konsepsi perbuatan manusia dalam hubungannya dengan kekuasaan Tuhan. Dengan kata lain ia bergantung dengan paham kebebasan manusia dan paham sebaliknya.
Sebagaimana diketahui bahwa kaum Mu’tazilah memposisikan akal sebagai hakim dalam menilai eksistensi suatu perbuatan sehingga mereka sangat percaya pada kekuatan akal.
Menurut kalangan rasionalis Islam, yang dimotori Mu’tazilah,   Syahratsani, bersepakat bahwa manusia mampu menciptakan perbuatan-perbuatannya, baik itu perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Karenanya, manusia, menurut mereka, berhak mendapatkan upah dan siksaan terhadap apa yang dilakukannya di akhirat nanti. Tuhan itu bersih dari penyandaran keburukan dan kezaliman, dari kekufuran dan kemaksiatan. Seandainya kedzaliman itu diciptakan Tuhan, berarti Dia dzalim.[16]
 Bila berbicara tentang af’alul ‘ibad, al-Qadhi Abdul Jabbar berpendapat bahwasanya perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia. Tetapi, manusia sendirilah yang mewujudkannya. Perbuatan adalah apa yang dihasilkan dengan daya yang bersifat baharu. Manusia adalah makhluk yang dapat memilih.[17] Tuhan, menurut Abdul Jabbar, tidak akan menyiksa atau memberi pahala kepada seseorang berdasar kehendak mutlak-Nya, tetapi karena amal yang dilakukannya. Dalam pengertiannya sebagai suatu tindakan, amal yang dilakukan seseorang terjadai karena pilihan bebasnya. Karena itu, menjadi mukmin atau kafir bukanlah ditetapkan oleh kehendak mutlak Tuhan, tetapi merupakan pilihannya sendiri. Akan tetapi, agar pilihan tersebut berjalan adil pula, Allah wajib menurunkan  petunjuk, aturan, dan mengirim nabi-nabi dengan membawa peringatan. Jika semua itu telah diberikan Tuhan, maka manusia dipersilahkan memilih menjadi iman atau kafir.
Dari keterangan tokoh Mu’tazilah tersebut di atas, jelaslah bahwa manusia dalam pandangan Mu’tazilah adalah pencipta perbuatannya. Kehendak berbuat adalah kehendak manusia. Jika kita perhatikan, pandangan Mu’tazilah dalam masalah ini hampir mirip, untuk tidak mengatakan sama, dengan pandangan Qadariyah. Karenanya, tidaklah mengherankan jika ada yang menyebut Mu’tazilah itu adalah Qadariyah.[18] 
Untuk mendukung pendapatnya ini, Abdul Jabbar kemudian memberikan argumen rasional, seperti manusia, kata al-Jabbar, dalam berterima kasihnya kepada manusia atas kebaikan-kebaikan yang diterimanya, menyatakan terima kasihnya kepada manusia yang berbuat baik itu pula. Demikian pula, dalam melahirkan perasaan tidak senang atas perbuatan-perbuatan  tidak baik yang diterimanya, manusia menyatakan rasa tidak senangnya  kepada orang yang menimbulkan perbuatan-perbuatan tidak baik itu. Lebih lanjut lagi ia menerangkan bahwa manusia berbuat jahat terhadap sesama manusia. Jika sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia , perbuatan itu mestilah perbuatan Tuhan dan Tuhan dengan demikian bersifat dzalim. Hal ini tidaklah mungkin, tidak bisa diterima akal.[19]
Selain itu, tidak hanya menyodorkan argumen rasional, Abdul Jabbar juga menggunakan argumen/dalil naqliyah (al-Quran) untuk menguatkan pendapatnya. Dalil Naqliyyah yang digunakan Abdul Jabbar yang juga banyak digunakan oleh kebanyakan Mu’tazilah di antaranya adalah; (QS. al-Baqarah: 108), (QS.Ali Imran: 133), (QS. An-Nisa: 79), (QS. at-Taubah: 82), (QS. al-Kahfi: 29), dan (QS. al-Taghabun: 2)[20].  Dari sini jelas lah  bahwa Mu’tazilah berpendapat bahwa Manusia diberi kebebasan bertindak tanpa ada campur tangan Tuhan (konsep kebebasan). Hal tersebut dikarenakan adanya taklif dalam ajaran Islam. Allah memiliki otoriter untuk memberikan pahala kepada manusia karena perbuatannya dan menyiksanya karena perbuatannya juga. Namun jika perbuatan manusia itu ada campur tangan Tuhan (perbuatan manusia itu datang dari Tuhan) maka Tuhan tidak berhak untuk menyiksanya karena itu datang dari Tuhan sendiri.
Kemudian dalam hal Taklif ma la yutaq, abdul jabbar berpendapat bahwasanya Allah SWT tidak member beban kepada manusia diluar batas kemampuannya. Dan anak-anak dibebaskan  dari taklif sampai mereka dewasa.[21]

Soal :4. ULUL, FANA, BAQA, IBTIHAD, WAHDATUL WUJUD, INSAN KAMIL, ADALAH TERMA2 TASAWUF. SALAH SATU TOKOHNYA ADALAH AL-JILLI. URAIKAN PERASAAN INSAN KAMIL DARI KARYA AL-JILLI.
Jawaban :
Dengan terjadinya tajalli Tuhan pada alam semesta, tercerminlah kesempurnaan citra-Nya pada setiap bagian dari alam, namun zat-Nya tidaklah berbilang dengan berbilangnya wadah tajalli tersebut, tetapi tetapi Esa dalam segenap wadah tajalli-Nya. Dengan demikian, setiap bagian dari alam ini mencerminkan citra ketuhanan, namun apa yang tampak dalam dunia nyata hanyalah bayangan dari esensi mutlak itu.
Menurut pandangan al-Jili dan juga ibn ’Arabi, Tuhan adalah transenden dan sekaligus imanen. Al-Jili mengumpamakan hubungan Tuhan dan alam laksana air dan es (air yang membeku). Tuhan al- Haqq, diumpamakan sebagai air. Dan alam diumpamakan sebagai es. Dalam menjelaskan perumpamaan antara ”es” dan ”air” ini, Yusuf Zaydan menyebutkan bahwa al-Jili melihat adanya dua bentuk wujud, yakni wujud haqqi dan wujud khalqi. Wujud khalqi hanya berupa wujud ”yang dipinjam” dari wujud haqqi. ”Es” sebagai perumpamaan wujud khalqi hanyalah wujud ”pinjaman”, sedangkan wujud yang hakiki ialah ”air”, sebagai tamsilan dari wujud haqqi. Jadi, pada dasarnya hanya ada satu wujud, yakni wujud haqqi, sedangkan wujud khalqi hanya berupa aspek lahir dari wujud haqqi. Oleh karena itu, di tempat lain, al-Jili menyebut haqqi dan khalqi, atau kulli dan juz’i sebagai aspek aspek-aspek dari wujud yang satu.
Insan Kamil Menurut Al-Jilli dalam Karyanya : al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir)
Insan Kamil adalah suatu tema yang berhubungan dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Makin seseorang memiripkan diri kepaa sifat sempurna dari yang Mutlak tersebut, makin sempurnalah dirinya. Manusia sempurna adalah dia yang berhadapan dengan pencipta dan pada saat yang sama juga dengan makhluk. Manusia sempurna merupakan Qutb atau Axis tempat segala sesuatu berkeliling dari mula hingga akhir. Manusia sempurna dalam dirinya berhadapan dengan semua individualisasi eksistensi. Dengan spiritualitasnya, dia berhadapan dengan individualisasi yang lebih tinggi; dengan jasadnya dia berhadapan dengan individualisasi yang lebih rendah. Hatinya berhadapan dengan “Obor Tuhan” (al Arsh), jiwanya berhadapan dengan Pena (al Qalam), rohnya berhadapan dengan Lauh al Mahfudz.
Manusia sempurna menurut Al Jilli merupakan copy (nuskha) Tuhan. Al Jilli mendasarkan gagasan ini pada hadits yan mengatakan bahwa Tuhan menciptakan Adam dalam bayangan dirinya. Juga berdasarkan hadits lain yang berbunyi “Tuhan itu Hidup, Mengetahui, Tinggi, Berkehendak, Mendengar, Melihat, dsb. Manusia (Adam) juga demi demikian halnya, yakni memiliki semua itu. Proses yang berlangsung disitu adalah bahwa setelah penciptaan subtansi, maka sifat-sifat-Nya kemudian di konfrontasikan  dengan sifat Adam; ke-Dia-annya (Huwwiya) yang Ilahi dikonfrontasikan dengan ke-dia-annya Adam, ke-Aku-an Ilahi-Nya dengan kesadaran aku Adam, dan esensi ilahinya dengan esensi Adam. Demikianlah sehingga dari proses tersebut terkandung implikasi, khususnya dalam konteks manusia sempurna.
Menurut Al Jilli, nama esensial dan sifat-sifat ilahi tersebut pada dasarnya menjadi milik manusia sempurna oleh adanyahak fundamental, yakni sebagai suatu keniscayaan yang inheren dalam esensi dirinya. Demikianlah, dengan ungkapan yang sering kita dengar bahwa Tuhan berfungsi sebagai kaca bagi manusia, juga demikian halnya manusia menjadi kaca tempat Tuhan melihat dirinya. Sebagai kaca yang dipakai seseorang melihat bentuk dirinya dan tidak bisa melihat dirinya itu tanpa adanya kaca tersebut, maka demikian juga hubungan yang berlangsung antara  Tuhan dan manusia sempurna. Manusia sempurna jadinya tidak mungkin dapat melihat bentuknya sendiri kecuali dengan kaca Allah; sama halnya, dia juga menjadi kaca bagi Tuhan, karena Tuhan ingin agar dirinya malihat dia sendiri dan dikenali. Dan agar dikenali itulah manusia sempurna diciptakan sehingga dengan kaca manusia, Tuhan akan melihat Diri-Nya.
Al Jilli menyakini bahwa walau  bagaimanapun manusia bisa menjadi mirip dengan Tuhan dan bisa “memasuki” Tuhan dengan sepenuhnya, ia tidak akan pernah sampai kepada mengidentifikasikan bahwa dirinya adalah sepenuhnya Tuhan. Dalam bait diantara syair-syair sufisnya menyatakan demikian:
Lihatlah, Akulah yang seluruhnya, dan seluruhnya itu adalah panggungku:
Akulah ini, bukannya dia, yng ditampilkan dalam realitas.
Sungguh, Akulah sang Pemelihara, dan sang Putra Mahkota bagi manusia:
Keseluruhan ciptaanadalah sebuah nama, dan esensiku itulah obyek yang diberi nama.
Dunia indrawi adalah milikku dan dunia meta adalah bagian dari gelombang dan bentukku: Dunia Tak Nyata (oleh) indra adalah duniaku dan dunia abadi muncul dihadapanku.
Tandailah. Alam segala yang aku sebut, Aku hanyalah budak, yang kembali dari Esensi kehadapan Tuannya – yang papa, rendah, sarat dosa, dalam penjara kemegahannya.
Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-haqiqah al-Muhammad) yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini.
Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil dengan dua pengertian. Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengeneai manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkail dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna.
Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya. Kedua, insan kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya. Dalam pengertian ini, nama esensial dan sifat-sifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik manusia sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu sebagai suatu keniscayaan yang inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan yang sering terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia dan manusia menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya.
Bagi al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani dan mendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa.
Pada tingkat ketiga, ia melintasi daerah nama serta sifat Tuhan, masuk ke dalam suasana hakikat mutlak, dan kemudian menjadi “manusia Tuhan” atau insan kamil. Matanya menjadi mata Tuhan, kata-katanya menjadi kata-kata Tuhan, dan hidupnya menjadi hidup Tuhan (nur Muhammad). Muhammad Iqbal tidak setuju dengan teori para sufi seperti pemikiran al-Jili ini. Menurut dia, hal ini membunuh individualitas dan melemahkan jiwa. Iqbal memang memandang dan mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai insan kamil, tetapi tanpa penafsiran secara mistik.
Menurut Al Jilli Untuk mencapai tingkat  Insan  Kamil,   sufi   mesti   mengadakan   taraqqi (pendakian)  melalui  tiga  tingkatan: bidayah, tawassut dan khitam. Pada tingkat bidayah, sufi disinari  oleh  nama-nama  Tuhan, dengan kata lain, pada sufi yang demikian, Tuhan menampakkan diri dalam nama-nama-Nya, seperti  Pengasih,  Penyayang  dan sebagainya (tajalli fi al-asma). Pada tingkat tawassut, sufi disinari oleh sifat-sifat Tuhan, seperti hayat, ilmu, qudrat dll.   Dan  Tuhan  ber-tajalli  pada  sufi  demikian  dengan sifat-sifat-Nya. Pada tingkat  khitam,  sufi  disinari  dzat Tuhan  yang dengan demikian sufi tersebut ber-tajalli dengan dzat-Nya. Pada tingkat ini sufi pun menjadi Insan Kamil.  Ia menjadi  manusia  sempurna,  mempunyai  sifat  ketuhanan dan dalam  dirinya  terdapat  bentuk  (shurah)   Allah.   Dialah bayangan  Tuhan  yang  sempurna.  Dan  dialah  yang  menjadi perantara antara manusia dan  Tuhan.  Insan  Kamil  terdapat dalam  diri  para  Nabi  dan  para wali. Di antara semuanya, Insan  Kamil  yang  tersempurna  terdapat  dalam  diri  Nabi Muhammad.
Memang tidak mudah mencapai taraf ”insan kamil”. Karena banyak dimensi yang harus dipenuhi oleh mereka yang hendak mencapai taraf kesempurnaan tersebut. Jadi wajar jika hanya manusia pilihan seperti nabi/rasul yang dapat mencapai taraf ”insan kamil”. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan manusia bisa mencapai taraf ”insan kamil” bila berusaha dengan sungguh-sungguh. Yakni melakukan riyadlah (latihan) yang terus-menerus dan tidak kenal putus asa dengan menjalankan ibadah dan akhlak al-karimah kepada Allah, sesama manusia dan diri sendiri.
Alquran ataupun hadis tidak pernah secara eksplisit menjelaskan tentang ”insan kamil”. Kita hanya memperoleh informasi bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah dengan bentuk yang paling baik, seperti dalam surat At-Tin. Dalam surat tersebut dijelaskan manusia diciptakan Allah dalam bentuk yang paling baik. Tetapi bentuk yang paling baik tersebut bisa berbalik menjadi bentuk yang paling hina/rendah, apabila manusia tidak mampu menjaga dan mempertahankannya.
Adapun cara menjaga dan mempertahankan bentuk yang paling baik tersebut adalah beriman dan beramal saleh. (QS.At-Tin/95:1-8). Amal saleh tersebut mencakup dua dimensi, yakni dimensi ketuhanan (vertikal) dalam rangka menjalin kerja sama yang baik dengan Allah (habl min Allah) dan dimensi kemanusiaan (horizontal) dalam rangka menjalin kerja sama yang baik dengan sesama (Habl min al-Nas) dan tentunya dengan alam sekitar. (QS. Ali ‘Imran/3:112).
) ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآَيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ (112)
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. yang demikian itu Karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.
Di dalam hadis juga kita dapatkan informasi secara implisit bisa kita maknai sebagai kiat untuk mencapai taraf ”insan kamil”. Hadis riwayat Bukhari atau Muslim tentang percakapan Nabi Muhanmmad SAW dengan Jibril mengenai Iman, Islam dan Ihsan, merupakan pelajaran berharga bagi manusia yang hendak mencapai kesempurnaan hidup. Iman, Islam dan Ihsan adalah tiga pilar utama (ajaran) serta faktor penentu bagi kesempurnaan hidup manusia.
Iman adalah percaya kepada enam rukun iman dan Islam adalah kepasrahan diri kepada Allah sebagai manifestasi iman yang diwujudkan dalam bentuk lima amal perbuatan saleh (baik). Sementara Ihsan adalah kelengkapan dari kedua unsur tersebut, yakni Iman dan Islam seseorang belum sempurna kalau belum mampu menghadirkan Ihsan dalam dirinya.
Yakni beribadah (berkehendak, bersikap dan berbuat) seolah-olah melihat Allah atau dengan keyakinan bahwa Allah senantiasa mengawasi segala amal perbuatan kita. Dengan demikian maka ”insan kamil” adalah manusia yang dalam hidupnya senantiasa beramal saleh (berbuat baik) didasari dengan Iman kepada Allah yang mewujud dalam sikap taqwa. Sebagaimana disebutkan dalam Alquran surat Al-Hujurat/49:13,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Jawaban No. 5

v  Al-Farabi
Pemikiran al-Farabi yang lain adalah tentang jiwa. Menurutnya, jiwa berasal dari pancaran Akal X (Jibril). Hubungan antara jiwa dan jasad hanya bersifat accident (‘ardhiyyah), artinya ketika fisik binasa jiwa tidak ikut binasa, karena substansinya berbeda. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nāthiqah (jiwa yang berpikir) yang berasal dari alam Ilahi, sedang jasad berasal dari alam khalq yang berbentuk , berkadar, bergerak, dan berdimensi.
Jiwa manusia, menurut al-Farabi, memiliki 3 daya: 1) daya gerak (quwwah muharrikah), berupa: makan (ghādiyah, nutrition), memelihara (murabbiyah, preservation), dan berkembang biak (muwallidah, reproduction); 2) daya mengetahui (quwwah mudrikah), berupa: merasa (hāssah, sensation) dan imajinasi (mutakhayyilah, imagination); dan 3) daya berpikir (al-quwwah al-nāthiqah, intellectual), berupa: akal praktis (‘aql ‘amalī) dan akal teoretis (‘aql nazharī).
Al-‘aql al-nazharī terbagi pada 3 tingkatan: 1) al-‘aql al-hayūlānī (akal potensial, material intellect) yang mempunyai “potensi berpikir” dalam arti melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk (māhiyah) dari materinya; 2) al-‘aql bi al-fi’l (akal aktual, actual intellect) yang dapat melepaskan arti-arti (māhiyah) dari materinya dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal yang sebenarnya (aktual), bukan lagi dalam bentuk potensial; 3) al-‘aql al-mustafād (akal pemerolehan, acquired intellect) yang sudah mampu menangkap bentuk murni (pure form) tanpa terikat pada materinya karena keberadaannya (pure form) tidak pernah menempati materi.
Al-‘aql al-mustafād bisa berkomunikasi dengan akal ke-10 (Jibril) dan mampu menangkap pengetahuan yang dipancarkan oleh “akal aktif” (‘aql fa’āl). Dan ‘aql fa’āl menjadi mediasi yang bisa mengangkat akal potensial naik menjadi akal aktual, juga bisa mengangkat akal aktual naik menjadi akal mustafad. Hubungan antara ‘aql fa’āl dan ‘aql mustafād ibarat mata dan matahari.

v  Al-Kindi
Al Kindi Jiwa tidak tersusun, substansinya adalah ruh yang berasal dari substansi Tuhan. Dalam hal jiwa, al-Kindi lebih dekat dengan pandangan Plato yang mengatakan bahwa hubungan antara jiwa dan badan bercorak aksidental (al-‘aradh). Al-Kindi berbeda dari Aristoteles yang berpendapat bahwa jiwa adalah form dari badan. Menurut Al-Kindi, jiwa memiliki 3 daya, antara lain 1. jiwa bernafsu (al-quwwah asy-syahwāniyyah), 2. jiwa memarah (al-quwwah al-ghadhabiyyah) dan 3. jiwa berakal (al-quwwah al-‘aqilah). Selama ruh atau jiwa berada di badan, ia tidak akan menemukan kebahagiaan hakiki dan pengetahuan yang sempurna. Setelah bepisah dari badan dan dalam keadaan suci, ruh akan langsung pergi ke “alam kebenaran” atau “alam akal” di atas bintang-bintang, berada dilingkungan cahaya Tuhan dan dapat melihat-Nya. Di sinilah letak kesenangan hakiki ruh. Hubungan jiwa dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, llahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh.
v  Ibnu Sina
Segi – segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu :
1. Segi fisika yang membicarakan tentang macam – macam jiwa (jiwa tumbuhan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Pembahasan kebaikan – kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain – lain dan pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.
2. Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian :
  1. Jiwa tumbuh – tumbuhan dengan daya – daya : makan, tumbuh, berkembang biak.
  2. Jiwa binatang dengan daya – daya : gerak, menangkap, Indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera, Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama, Imaginasi yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi, Estimasi yang dapat menangkap hal – hal abstraks yang terlepas dari materi umpamanya keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala. Rekoleksi yang menyimpan hal – hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
  3. Jiwa manusia dengan daya – daya : Praktis yang hubungannya dengan badanTeoritis yang hubungannya adalah dengan hal – hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
a)      Akal materil yang semata – mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
b)      Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal – hal abstrak.
c)      Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal – hal abstrak.
d)     Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal – hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.
Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi – fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir.
Keabadian Jiwa
Keabadian jiwa bukanlah keabadian yang haqiqi sebagaimana keabadian dan kekekalan yang Maha Kekal. Keabadian jiwa menurut Ibnu Sina sebagai sesuatu yang mempunyai awal tetapi tidak mempunyai akhir . Ini berarti kekekalan jiwa adalah kekekalan karena dikekalkan Allah pada akhirnya yang tidak berujung, sedangkan awalnya adalah baru dan dicipta. Atau jiwa punya akhir tidak punya awal. Lebih rinci Ibnu Sina sendiri mengakui bahwa jiwa memiliki temporalitas, tanda temporalitasnya adalah ketidak tentuannya dan ketidak pastiannya kecuali dengan perantaraan tubuh. Jiwa tidak mungkin digambarkan sebelum adanya tubuh.
1)      Dalam membuktikan kekalnya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan tiga dalil ;
1. Burhan al-infisal (bukti perpisahan). Perpaduan jiwa dan jasad bersifat aksiden, keduanya memiliki substansi tersendiri, dan jika jasad mati atau hancur, jiwa tetap dan kekal. Sementara jasad bergantung kepada jiwa untuk bisa hidup
2)      Burhan al-basatat (bukti keluasan). Jiwa adalah substansi ruhani yang luas. Dengan keluasannya ia selalu hidup dan tidak mati.
3)      Burhan al-musyabbahat (bukti persamaan). Dalil ini bersifat metafisika. Jiwa manusia bersumber dari akal fa’al (akal kesepuluh) sebagai pemberi segala bentuk. Karena akal Sepuluh adalah merupakan esensi yang berfikir, azali dan kekal maka jiwa sebagai ma’lul (akibat)nya juga akan kekal sebagaimana ‘illat (sebab)nya
DAFTAR PUSTAKA

Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986
___________, Akal dan Wahyu Dalam Islam,  Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006

Ali, Yunasril, Manusia Citra Ilahi “Pengembangan Konsep Insane Kamil Ibn Arabi Oleh Al-Jili”, Jakarta, Paramadina, 1997.

Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Akal dan hati sejak Thales sampai Capra. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 2004
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996
H.A Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Ceria, 2007
Mulla Shadra, Seri Tokoh Filsafat, Jakarta: Mizan Media Utama, 2003
Mehdi Golshani, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2003
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo, 2004
Muhaimin, Abdul Mujib, Jusuf Mudzakir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005
A. Mustafa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004)
Ahmad Zainal Abidin, Riwayat Hidup al-Ghazali, (Jakarta: bulan Bintang, 1975)
Al-Ahwani, Ahmad Fuad, Filsafat Islam, terj. Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997)
Al-Jabiri, Muhammad Abed, Nalar Filsafat dan Teologi Islam, terj. Aksin Wijaya, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003)
Arkoun, Muhammad, Pemikiran Arab, terj. Yudian W. Asmin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)
Ash-Shabuny, Muhammad Ali, Kenabian dan Para Nabi, terj. Arifin Jamian Ma’un, (Surabaya: Bina Ilmu, 1993)
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996)
Ibrahim Madhkour, Filsafat Islam; Metode dan Penerapan, terj. Yudian Wahyudi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993)
Ismail, Ahmad Syarqawi, Rekonstruksi Konsep Wahyu Muhammad Syahrur, (Yogyakarta: elSAQ, 2003)
Madjid, Nur Cholis, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984)
Murtadha Muthahari, Falsafah Kenabian, terj. Ahsin Muhammad, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991)




[1] Abu al-Hasan Ismail al-Asy’ariy, Maqalat al-Islamiyin wa Ikhilaf al-Mushallin, Maktabah al-Nahdah al-Mishriyyah, Kairo, 1969, h. 221., Fi Ilmil Kalam, vol. II, op. cit. hal. 79.
[2] Lihat: ibid hal. 82.
[3] Q.S. As-Shaffat: 96.
[4] Al-Asy’ari, Abul Hasan, al-Lam’e fii ar-Rad ‘ala Ahli az-Zaigh wa al-Bida’, hal. 76.

[6] Yang cukup rumit dipahami dari teori kasab ini adalah, meskipun kehendak dan daya manusia tidak efektifdan Allah lah  pembuat dan pencipta kasb yang sebenarnya, namun asy’ari tetap berpendirian bahwa kasb termasuk perbuatan ikhtiari dengan alasan dalam hal ini terdapat daya sehingga itu tidak bisa disebut paksaan. Dengan teori kasbnya Asy’ari berusaha menunjukkan peran manusia di dalam perbuatannya. Namun oleh para pengkritiknya, keteguhan  dan keyakinan dasar mengenai kemutlakan kehendak dan kekuasaan Tuhan kembali menggiringnya ke dalam kawasan paham yang cenderung agak Jabariyah, meskipun ada yang menambahkan dengan predikat “moderat”.
[7] Lihat Nurcholish Madjid, Khazanah, h. 29 mengutip pendapat Muhammad Yusuf Musa dalam Al-Qur’an wa al-Falsafah, penengah antara Jabaritah dan Mu’tazilah, namun usaha al-Asy’ari tampaknya tidak berhasil untuk menjadi penengah.
[8] Syahristani, al-Milal wa an-Nihal, jil. 1, hal. 97-98
[9] Lihat Harun Nasution, Teologi Islam. hal 76.
[10] Lihat : Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Dar al-Sya’b, Beirut, 1986, h. 96
[11] Al-Juwaini, Luma al-Adillah, Dar-al Mishriyyah, Kairo, 1965, h. 99.
[12] Al-Syahrastani, op. cit. h. 96
[13] Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, Syafaat, Tawasul, dan Tabaruk, Serambi, Jakarta, 2007, hal. 19.

[14] Ibid., hal. 28.
[15] Abdul Jabbar  Al-Madani,  Syarah  al-Ushul al-Khamsah, ( Kairo: Maktabah Wahbah, 1965),  hal. 478.
[16] al-Milal wa al-Nihal, hal. 59
[17] Teologi Islam, hal. 103
[18] Teologi Islam, hal. 103
[19] Dari Teologi Ke Ideologi, hal. 23
[20] Tafsir Tematik, hal. 62. Untuk mengetahui interpretasi Abdul Jabbar terhadap ayat-ayat tersebut lihat Tafsir Tematik, hal. 64-65
[21] Abdul  Jabbar  Al- Madani, Syarah  al-Ushul  al-Khamsah…..hal. 481.

2 Responses so far.

  1. Unknown says:

    tq atas infonya pokoknya ok banget lah

  2. Unknown says:

    Ada buku x abdul jabbar ga ??
    Bagi yang tolong infokan ke ane no: 085649083462

Leave a Reply